
Setiap lima tahun sekali, rakyat diajak “berpesta demokrasi”. Spanduk warna-warni menghiasi jalan, janji-janji ditebar seperti brosur promosi, dan media ramai oleh debat dan jargon. Tapi benarkah ini pesta milik kita?
Banyak yang bilang, suara rakyat adalah suara Tuhan. Tapi dalam praktiknya, seringkali suara itu hanya jadi alat legitimasi. Kita memilih, tapi tidak benar-benar menentukan. Kita berpartisipasi, tapi tetap berada di pinggir kekuasaan.
Janji yang Terlupakan
Pemilu seharusnya menjadi momen perubahan. Tapi setelah kotak suara ditutup dan kertas dihitung, yang tersisa hanyalah janji yang kembali jadi angin. Pendidikan tak juga murah, kesehatan masih sulit diakses, dan keadilan terasa jauh.
Mereka yang dulu mengetuk pintu rumah kita kini sibuk menjaga kursi. Dan rakyat? Kembali jadi penonton, bukan peserta.
Siapa yang Benar-Benar Menang?
Jika kemenangan diukur dari kursi yang didapat atau jabatan yang diraih, mungkin memang ada pemenangnya. Tapi jika diukur dari perubahan nyata dalam kehidupan rakyat, siapa yang benar-benar menang?
Di tengah pesta yang meriah, ada yang tidak pernah ikut menari—yaitu suara kita yang diabaikan.
Kesimpulan:
Pemilu bukan sekadar ritual lima tahunan. Ia harusnya jadi alat rakyat untuk mengubah nasib. Tapi selama sistemnya hanya berpihak pada elite, pesta ini akan selalu terasa seperti kemenangan yang bukan milik kita.