
Dalam demokrasi, Undang-Undang (UU) seharusnya menjadi instrumen perlindungan dan keadilan bagi semua warga negara. Namun, semakin sering kita temui kenyataan pahit: UU terasa dibuat bukan untuk kepentingan rakyat kebanyakan, melainkan untuk melayani elite yang berkuasa. Celah hukum, revisi kilat, hingga pasal-pasal multitafsir menjadi bukti bahwa hukum kerap tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
1. Representasi yang Dipertanyakan
Banyak UU disusun dalam ruang tertutup dengan minim partisipasi publik. Bahkan, ketika ada forum diskusi, masukan rakyat cenderung diabaikan. Hal ini menciptakan jurang kepercayaan antara masyarakat dan pembuat kebijakan, seolah suara rakyat tak lagi jadi prioritas dalam sistem yang katanya demokratis.
2. Kepentingan Siapa yang Diutamakan?
Cukup banyak regulasi yang lebih melindungi kepentingan investor, korporasi, atau golongan tertentu, ketimbang hak-hak warga biasa. Lihat saja kebijakan pertanahan, ketenagakerjaan, atau tambang. Ketika rakyat protes, seringkali malah direspons dengan represi, bukan revisi.
3. Hukum Harus Kembali ke Fungsi Awal
Masyarakat tidak anti hukum. Yang ditolak adalah hukum yang tidak adil. UU seharusnya menciptakan keadilan sosial, bukan memperkuat dominasi kekuasaan. Sudah saatnya sistem hukum dibenahi agar inklusif, akuntabel, dan benar-benar berpihak pada rakyat.