Parlemen Itu Panggung, Rakyat Cuma Penonton

Dalam demokrasi yang ideal, parlemen adalah representasi suara rakyat—tempat gagasan publik diperdebatkan, diperjuangkan, dan diwujudkan. Namun, dalam praktiknya, banyak yang mulai merasakan jarak: antara mereka yang duduk di kursi dewan, dan mereka yang membayar kursi itu lewat pajak. Semakin hari, parlemen tak lagi terasa seperti ruang rakyat, tapi lebih seperti panggung besar dengan skrip dan sutradara sendiri, sementara rakyat hanya bisa menyaksikan dari jauh—tanpa akses, tanpa dialog, tanpa kendali.


Panggung Bernama Politik

Tiap sidang, tiap pernyataan, bahkan tiap perdebatan yang viral di media sosial—sering kali lebih menyerupai pertunjukan dibandingkan proses deliberasi. Isu-isu publik sering diangkat hanya saat ramai dibicarakan warganet. Sementara kebijakan nyata—yang berdampak langsung terhadap harga bahan pokok, akses pendidikan, hingga keadilan hukum—dibahas tanpa sorotan, atau bahkan tanpa kejelasan.

Parlemen menjadi teater, dengan aktor-aktor yang pandai bicara, namun lupa mendengar.


Rakyat: Penonton Tanpa Hak Remote

Rakyat menonton, kadang bertepuk tangan, kadang mencemooh. Tapi mereka tak bisa mengubah jalannya cerita. Aspirasi rakyat kerap disaring oleh birokrasi, dibisukan oleh prosedur, atau dijauhkan oleh sekat kekuasaan. Suara rakyat hanya terdengar saat kampanye, bukan saat legislasi.

Dalam sistem seperti ini, partisipasi hanya ilusi, bukan realitas.


Masih Adakah Harapan?

Ya, harapan ada. Tapi bukan dengan menunggu dari kursi penonton. Harapan ada di tangan warga yang kritis, media yang independen, aktivis yang konsisten, dan pemuda yang tak sekadar menyindir tapi juga turun tangan.

Parlemen seharusnya bukan panggung elite. Ia adalah ruang diskusi terbuka, bukan ruang tertutup yang hanya bisa dimasuki dengan koneksi politik.


Kesimpulan

Ketika parlemen lebih sibuk menjaga citra daripada menjaga keadilan, maka rakyat perlu lebih dari sekadar menonton. Rakyat perlu meminta kembali naskah demokrasi—dan ikut menulisnya. Karena dalam negara yang sehat, parlemen bukan pertunjukan, tapi wadah perjuangan.

Related Posts

Data Pengguna Aplikasi: Hak Privasi yang Tergerus

Privasi Digital: Komoditas yang Diperdagangkan Di era digital, data pribadi adalah emas baru. Namun, alih-alih dilindungi, data pengguna aplikasi justru sering menjadi komoditas dagangan. Dari aplikasi belanja, media sosial, hingga…

E-Learning: Jembatan Pendidikan atau Kesenjangan Baru?

E-Learning: Solusi Modern Pendidikan Kemajuan teknologi menghadirkan e-learning sebagai alternatif pendidikan. Dengan materi digital, ruang kelas virtual, hingga akses tak terbatas pada sumber belajar global, sistem ini dianggap mampu menjembatani…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You Missed

Stimulus Natal: Janji Pemerintah, Harapan Masyarakat

Stimulus Natal: Janji Pemerintah, Harapan Masyarakat

Jurnalisme Jalanan: Menguak Kisah dari Pinggiran Kota

Jurnalisme Jalanan: Menguak Kisah dari Pinggiran Kota

Film Tentang Kesepian di Kota Besar: Suara yang Terbungkam

Film Tentang Kesepian di Kota Besar: Suara yang Terbungkam

Kota Tanpa Tradisi: Kehilangan Rasa Gotong Royong

Kota Tanpa Tradisi: Kehilangan Rasa Gotong Royong

Seni Publik: Antara Dana Negara dan Kemandirian Kreatif

Seni Publik: Antara Dana Negara dan Kemandirian Kreatif

Serial TV yang Mengangkat Isu Sosial dan Perlawanan

Serial TV yang Mengangkat Isu Sosial dan Perlawanan