Di tengah antrean panjang untuk bantuan, formulir yang tak kunjung diproses, dan kebijakan yang berlarut-larut dampaknya, satu kalimat terus menggema: “Rakyat harus sabar.” Tapi di sisi lain, kita melihat bagaimana elit bisa melompati proses, mempercepat akses, dan lolos dari batasan yang mengikat orang biasa.
Kesenjangan ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga tentang waktu, perhatian, dan keadilan.
⏳ Ketika Kesabaran Menjadi Tuntutan Sepihak
- Rakyat diminta menunggu realisasi janji politik.
- Petani sabar menanti pupuk bersubsidi yang belum juga datang.
- Mahasiswa menunggu beasiswa cair di tengah biaya hidup yang melonjak.
Sementara itu…
- Elit bisa mengakses layanan dengan prioritas, bahkan dalam sistem publik.
- Proyek-proyek besar dikebut meski prosedur belum rampung.
- Jabatan bisa berganti dalam semalam, tanpa transparansi.
🔍 Masalahnya Bukan Pada Kesabaran, Tapi Ketimpangan
Sabar adalah kebajikan. Tapi jika hanya dituntut dari bawah, sementara atas bisa mempercepat segalanya, maka itu bukan kebajikan—itu ketimpangan yang disamarkan.
Etika keadilan seharusnya menuntut konsistensi dalam proses dan konsekuensi. Jika rakyat disuruh patuh, elit pun harus tunduk pada aturan yang sama. Jika antrean diberlakukan, semua harus ikut. Jika transparansi dituntut, semua lapis harus terbuka.
💬 Suara dan Kesetaraan
Rakyat bukan marah karena harus sabar, tapi karena merasa sendiri dalam kesabaran itu.
Dan ketika suara rakyat hanya dijawab dengan klise, yang lahir bukan kepercayaan, tapi sinisme.
“Rakyat bisa sabar. Tapi jangan salah: mereka juga bisa ingat. Dan ingatan itu jauh lebih panjang dari masa jabatan.”