Setiap kali krisis terjadi—entah itu kemacetan, banjir, inflasi, atau kegagalan kebijakan—narasi yang sering muncul: “Rakyat belum disiplin.” Padahal, kenyataannya jauh lebih kompleks dari sekadar menyalahkan mereka yang paling bawah dalam rantai kekuasaan.
1. Pola Lama: Mencari Kambing Hitam
Ketika kebijakan gagal atau sistem tidak berjalan baik, yang jadi sorotan sering kali adalah perilaku masyarakat. Padahal, dalam banyak kasus, rakyat hanya beradaptasi dengan kondisi yang diciptakan oleh kebijakan di atasnya. Contohnya? Macet disalahkan karena “masyarakat tidak tertib,” tapi transportasi publik masih belum memadai. Sampah menumpuk disebut karena “kurangnya kesadaran,” padahal sistem pengelolaannya masih kacau.
2. Kurangnya Ruang Partisipasi Nyata
Rakyat sering diminta patuh, tapi jarang diajak bicara. Kebijakan dibuat dari atas, tanpa cukup mendengar dari bawah. Akibatnya, keputusan yang diambil terasa jauh dari kenyataan yang dihadapi masyarakat sehari-hari. Ketika hasilnya tidak efektif, lagi-lagi rakyat yang dituding tidak kooperatif.
3. Ketimpangan Informasi dan Akses
Rakyat dianggap “tidak tahu” atau “salah paham,” padahal informasi tentang kebijakan seringkali tidak transparan dan aksesnya terbatas. Sementara itu, pejabat yang salah langkah bisa dengan mudah berlindung di balik retorika. Ada standar ganda yang menempatkan rakyat sebagai objek salah, bukan subjek yang didengarkan.
4. Saatnya Mengubah Narasi
Sudah waktunya berhenti menyalahkan rakyat tanpa refleksi mendalam terhadap sistem yang berjalan. Rakyat bukan sumber masalah, mereka adalah bagian dari solusi—jika diberi tempat yang layak untuk bersuara dan terlibat.
Membangun kepercayaan bukan dengan menyuruh rakyat patuh, tapi dengan memperlakukan mereka sebagai mitra dalam perubahan.