
Tertawa sering dianggap sebagai tanda kebahagiaan. Tapi benarkah demikian? Di balik tawa yang keras, bisa jadi tersembunyi luka yang dalam. Banyak orang yang mampu tersenyum lebar di hadapan dunia, namun kesulitan mengungkapkan rasa sedih, kecewa, atau bahkan menangis. Bukan karena tidak ingin—tapi karena tidak tahu caranya lagi.
Dalam budaya yang menjunjung optimisme dan kebahagiaan sebagai standar sosial, kesedihan menjadi sesuatu yang harus disembunyikan. “Stay positive” seringkali terdengar seperti perintah, bukan dorongan. Akibatnya, banyak orang terbiasa berpura-pura kuat—menjadikan tawa sebagai topeng, bukan ekspresi rasa syukur.
Kemampuan untuk menangis, sebenarnya, adalah tanda kekuatan emosional. Ia menunjukkan bahwa seseorang berani jujur pada dirinya sendiri, bahwa luka tidak dihindari, tapi dipeluk perlahan.
Bagi sebagian orang, kehilangan kemampuan menangis adalah akibat dari trauma, tekanan mental yang tertahan, atau bahkan karena terlalu sering dianggap lemah saat menunjukkan emosi. Mereka terus menumpuk beban, sambil tetap tertawa di depan umum agar tak dicap “gagal” atau “lemah”.
Jadi, lain kali kamu melihat seseorang tertawa paling keras di ruangan, jangan langsung mengira hidupnya ringan. Bisa jadi, tawa itu adalah caranya bertahan.
Mari belajar menjadi ruang yang aman untuk orang lain. Ruang di mana air mata tidak membuat kita canggung, dan tawa bukan satu-satunya tanda bahwa seseorang baik-baik saja.