
Ketika Belajar Butuh Kuota, Bukan Lagi Buku
Pandemi telah mempercepat digitalisasi pendidikan. Sekolah daring, tugas lewat Google Classroom, dan ujian lewat Zoom menjadi hal biasa. Tapi bagi sebagian besar anak di pedalaman, satu pertanyaan sederhana tak terjawab:
“Internet itu apa?”
Sementara anak kota bisa protes karena Zoom mati, anak di pelosok harus naik bukit demi cari sinyal.
Dan itu bukan hiperbola. Itu realitas.
Digital Divide: Kesenjangan yang Tak Terlihat dari Pusat
Digital divide bukan sekadar soal teknologi, tapi soal ketimpangan akses terhadap informasi, peluang, dan masa depan.
Menurut data Kementerian Kominfo dan Kemendikbud:
- Masih ada lebih dari 12.000 sekolah di Indonesia yang tidak punya akses internet stabil
- Daerah seperti Nias, Pegunungan Papua, atau perbatasan Kalimantan—sinyal lebih langka daripada listrik
- Anak harus berjalan berjam-jam hanya untuk mengirim tugas via WA guru
“Anak saya nangis karena dibilang bolos. Padahal kami nggak ada sinyal. HP cuma satu untuk lima anak,” ujar Ibu Yana, warga Desa Tumbang Titi, Kalimantan Barat.
Apa Dampaknya? Generasi Tanpa Akses = Generasi Tanpa Arah
Ketika akses terhadap pendidikan hanya tersedia bagi yang terkoneksi, anak-anak di pelosok mengalami keterasingan struktural:
- Ketinggalan materi bertahun-tahun
- Tidak ikut ujian nasional atau seleksi masuk sekolah unggulan
- Terbentuk rasa rendah diri sejak dini
Akibatnya, mereka masuk ke dunia kerja dengan bekal setengah matang—bukan karena mereka malas, tapi karena negara abai terhadap hak mereka untuk belajar setara.
Ketika Internet Jadi Hak Istimewa
Padahal Pasal 31 UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Tapi realitasnya, pendidikan hari ini menjadi tersandera oleh koneksi digital.
Ironisnya:
- Proyek infrastruktur telekomunikasi didorong untuk investasi, bukan pemerataan
- Wilayah padat penduduk didahulukan karena dianggap “menguntungkan secara ekonomi”
- Sementara desa-desa terpencil dianggap “tidak prioritas”
Padahal di sanalah seharusnya pembangunan dimulai: dari yang paling tertinggal, bukan yang paling terlihat.
Apakah Kita Sedang Menciptakan Generasi Mati Suri?
“Mati suri” bukan berarti mati secara fisik. Tapi hidup tanpa arah, tanpa akses, tanpa peluang.
Dan itulah yang sedang terjadi pada ribuan anak muda di pelosok:
- Tidak bisa bersaing di dunia kerja digital
- Tidak mengenal literasi informasi
- Tidak pernah menyentuh coding, desain, atau bahkan mesin pencari
Mereka hidup dalam “Indonesia lain”, yang terlupakan dari roadmap kemajuan teknologi.
Penutup: Konektivitas Adalah Keadilan
Internet hari ini bukan soal hiburan. Ia adalah akses terhadap hak dasar: pendidikan, informasi, pekerjaan, bahkan kesehatan.
Jika pemerintah serius ingin membangun generasi emas, maka harus dimulai dari konektivitas sebagai keadilan, bukan bonus.
Karena tanpa internet, yang mati bukan hanya sinyal, tapi masa depan.