
Dunia Dua Dimensi: Hidup di Feed, Mati di Realita
Setiap hari, kita scroll Instagram. Foto-foto aesthetic berseliweran:
đź’« Pagi hari dengan kopi di jendela,
🪴 Sudut rumah estetik penuh tanaman,
📚 Rak buku rapi berdampingan dengan dinding putih bersih.
Namun di balik layar smartphone, ada jutaan orang Indonesia yang hidup di gang sempit—satu rumah ditinggali tiga generasi, ventilasi seadanya, dan tidak ada tempat untuk “flatlay” atau “OOTD mirror selfie”.
Estetika yang Mengaburkan Realita
Instagram telah menjadi simbol gaya hidup, bahkan menjadi tolok ukur kesuksesan dan kebahagiaan. Tapi kenyataannya, banyak orang memaksa diri menciptakan “sudut Instagramable” di tengah realita ruang hidup yang padat dan pengap.
“Saya cuma punya satu spot di pojok kasur yang bisa kelihatan rapi. Di balik kamera, berantakan semua,” ujar Reni, 24 tahun, pengguna aktif Instagram yang tinggal di pinggiran Jakarta.
Ruang Hidup di Pinggir Kota: Antara Bertahan dan Berpura-pura
Di wilayah-wilayah seperti Cibubur, Tambun, atau Serpong—hunian padat berdempetan tanpa ruang pribadi menjadi hal biasa. Kamar tidur sekaligus ruang tamu, dapur merangkap tempat mencuci baju.
“Kalo kamu lihat di IG, kayaknya rumah orang udah minimalis semua. Padahal saya nggak punya tempat naruh barang selain tumpukan kardus,” kata Doni, buruh harian yang tinggal di kontrakan gang selebar dua meter.
Kenyataan ini jauh dari feed-worthy. Tapi kebutuhan untuk “terlihat baik” di media sosial menekan banyak orang untuk berpura-pura hidup lebih mapan dari yang sebenarnya.
Apa yang Tidak Masuk ke Kamera?
Instagram hanya menangkap apa yang kita izinkan. Yang tidak terlihat adalah:
- Suara anak tetangga yang terus menangis
- Panas ruangan karena tidak ada sirkulasi
- Banjir di musim hujan
- Konflik rumah tangga karena ruang sempit menciptakan gesekan tanpa batas
Semuanya itu tidak akan muncul di feed IG, karena Instagram bukan dokumentasi hidup, melainkan kurasi kehidupan.
Kontras Sosial: Panggung Digital vs Lantai Semen
Sementara sebagian orang sibuk menata flatlay sarapan dan journaling di balkon minimalis, sebagian lain bahkan tidak punya meja makan.
Kontras ini menciptakan:
- Tekanan sosial: ingin terlihat “baik” agar tidak dianggap gagal
- Pola konsumsi impulsif: demi mempercantik ruang yang sebenarnya tidak cukup layak
- Keletihan eksistensial: karena hidup di antara dua dunia yang tidak seimbang
Realita Baru: Virtual Showroom, Nyata Kosong
Banyak rumah hari ini adalah teater untuk kamera, bukan tempat tinggal yang nyaman secara fungsional. Sementara gang-gang sempit itu tetap hidup—penuh hiruk pikuk, panas, dan bau got, tetapi juga penuh cerita yang tidak bisa dirangkum dalam satu filter IG.
Penutup: Siapa yang Kita Tipu?
Dalam dunia yang serba visual, siapa yang sebenarnya kita tipu?
- Diri sendiri?
- Followers yang bahkan tak kenal kita?
- Atau sistem yang membuat kita merasa tidak cukup hanya karena tidak estetik?
Mungkin sudah waktunya berhenti mengejar “feed-worthy” dan mulai bicara soal ruang hidup yang benar-benar layak, bukan sekadar layak tayang.