
Saat Warga Bicara, Tapi Tak Didengar
Setiap malam, layar televisi dan kanal YouTube dipenuhi talkshow publik. Tema-temanya bombastis:
📺 “Rakyat Butuh Solusi!”
📺 “Debat Panas Soal Harga Pangan!”
📺 “Krisis Politik: Suara Rakyat atau Manuver Elit?”
Namun, ada ironi besar di balik semua kebisingan itu: suara warga yang paling terdampak justru tak pernah diundang bicara. Mereka hadir sebagai data, bukan sebagai narasumber.
Talkshow Publik: Aspirasi atau Sensasi?
Program diskusi publik idealnya menjadi ruang untuk mendengarkan semua suara, terutama dari mereka yang terdampak langsung oleh kebijakan. Tapi kenyataannya:
- Narasumber didominasi politisi, akademisi, atau seleb aktivis
- Debat sering bergeser jadi pertunjukan ego dan branding
- Warga hanya jadi “pembanding”, sesekali muncul dalam video insert
“Saya pernah diminta jadi penonton bayaran, suruh tepuk tangan waktu pembicara tertentu ngomong,” ujar Tati, 38 tahun, warga yang tinggal di bantaran Kali Ciliwung.
Siapa yang Punya Akses ke Mikrofon?
Realitanya, akses ke panggung publik adalah soal modal sosial dan koneksi. Suara petani, buruh harian, perempuan miskin kota, atau warga adat—seringkali disaring dan direpresentasikan oleh “juru bicara” yang tidak selalu mengakar.
Ini menciptakan kesenjangan representasi, di mana:
- Masalah rakyat dibahas tanpa rakyat itu sendiri
- Perspektif marginal digantikan oleh narasi teknokratik
- Solusi yang dirumuskan menjadi elitis dan tidak kontekstual
Ruang Aspirasi yang Semu
Pemerintah kerap mempromosikan kanal “partisipasi publik”: e-aspirasi, forum RT/RW, aplikasi pengaduan, hingga live IG pejabat.
Tapi efektivitasnya dipertanyakan:
- Banyak pengaduan tidak ditindaklanjuti
- Ruang diskusi dibatasi oleh moderator atau algoritma
- Kritik keras sering dibalas dengan pembungkaman atau intimidasi
“Saya lapor soal limbah ke kanal resmi, tapi nggak ada tindak lanjut. Malah ditelepon lurah suruh jangan ribut,” kata Rukun, warga Karawang.
Ironi Demokrasi Media
Di negara demokratis, media seharusnya menjadi jembatan antara rakyat dan kekuasaan. Tapi saat media lebih fokus pada rating dan sensasi, jembatan itu berubah menjadi panggung elitis.
Kita butuh:
- Talkshow yang benar-benar menempatkan warga sebagai aktor utama
- Media yang hadir di lapangan, bukan sekadar di studio
- Moderator yang memfasilitasi, bukan membungkam
Penutup: Mikrofon Siapa yang Didengar?
Ruang diskusi bukan hanya soal siapa yang bisa bicara, tapi siapa yang benar-benar didengarkan.
Saat warga miskin hanya tampil sebagai “penghias empati” dan bukan aktor utama diskusi, maka kita tidak sedang membangun ruang aspirasi—kita sedang memperhalus bentuk baru eksklusi.