
Pendidikan: Kebutuhan atau Komoditas?
Dalam bayangan ideal, pendidikan seharusnya menjadi hak dasar setiap anak. Namun, realita hari ini menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia—khususnya pendidikan formal di kota besar—telah berubah menjadi lahan bisnis yang sarat gengsi dan kompetisi sosial.
Orang tua bukan lagi sekadar pembimbing, tetapi juga menjadi konsumen aktif dari ekosistem pendidikan yang semakin kompleks dan ruwet. Mereka membeli bukan hanya ilmu, tetapi juga status sosial.
Sekolah Mahal: Di Antara Gengsi dan Rasa Aman
Fenomena sekolah dengan biaya puluhan hingga ratusan juta per tahun kini dianggap lumrah, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan.
“Bukan karena anaknya pintar, tapi karena orang tuanya mampu,” ujar seorang guru dari sekolah internasional di Jakarta yang tidak mau disebutkan namanya.
Ironisnya, banyak orang tua tetap setia meski:
- Kurikulum sama dengan sekolah negeri (dengan modifikasi minor)
- Guru-guru tidak selalu lebih kompeten
- Beban akademik justru lebih tinggi dan menekan
Namun loyalitas ini terus mengalir, karena sekolah dianggap sebagai investasi status sosial jangka panjang—dari networking hingga potensi masuk universitas ternama di luar negeri.
Les Privat Wajib: Normalisasi yang Menjebak
Setelah biaya sekolah tinggi, anak-anak juga harus mengikuti les privat yang seolah menjadi kewajiban diam-diam.
“Kalau anak saya nggak les, bisa-bisa nilai jeblok. Soalnya yang diajar di sekolah nggak cukup,” ungkap Leni, ibu dari anak kelas 5 SD yang mengikuti dua les setiap harinya.
Les privat hari ini bukan untuk anak yang tertinggal, tetapi untuk anak-anak yang ingin ‘aman’ dari persaingan akademik, bahkan sejak usia TK.
Les telah menjadi layer kedua pendidikan yang harus dibayar orang tua, demi sekadar bertahan di sistem pendidikan yang makin kompetitif.
Kelas Sosial Baru: Pendidikan sebagai Alat Seleksi
Konsekuensinya? Terbentuk kelas sosial baru berbasis akses pendidikan. Bukan lagi sekadar kaya atau miskin secara ekonomi, tapi siapa yang mampu membayar akses ke pendidikan elite, dan siapa yang tidak.
Ini bukan hanya menciptakan gap antar-anak, tetapi juga menciptakan:
- Eksklusivitas informasi & relasi
- Pengelompokan gaya hidup sejak dini
- Siklus loyalitas antar-kelas (orang tua hanya ingin anak-anaknya ‘bergaul setara’)
Di Balik Loyalitas Orang Tua: Ketakutan atau Harapan?
Mengapa orang tua tetap membayar semua ini meskipun tahu tekanan mental dan ketimpangan sistem?
Jawabannya sederhana dan kompleks: takut anaknya kalah dalam persaingan.
Mereka merasa tidak punya pilihan. Sistem pendidikan telah menjelma menjadi arus besar yang, jika tidak diikuti, akan menyingkirkan anak-anak dari jalur kesuksesan konvensional.
Apakah Ini Akan Berubah?
Selama pendidikan masih dianggap komoditas premium, maka praktik semacam ini akan terus bertahan, bahkan makin merajalela.
Solusi? Reformasi sistemik, bukan hanya kosmetik.
Tanpa perombakan cara pandang dan regulasi yang menyeluruh, bisnis pendidikan akan terus menumbuhkan jurang sosial yang semakin dalam.
Penutup
Pendidikan seharusnya membebaskan, bukan malah menciptakan kasta. Saatnya publik bertanya:
Apakah kita membeli masa depan anak kita, atau justru menjualnya kepada sistem?