
Seni di Tembok Kota: Ekspresi atau Instruksi?
Lukisan mural, instalasi di trotoar, pertunjukan musik jalanan hingga patung monumental—seni publik telah menjadi wajah baru kota modern. Tapi, di balik warna-warni estetika itu, muncul pertanyaan krusial: ketika karya seni dibiayai oleh negara, masihkah ia bebas?
Seni publik memang tampak demokratis. Ia hadir di ruang terbuka, tanpa tiket, tanpa kurator galeri. Tapi ketika proyeknya lahir dari tender pemerintah, disetujui birokrat, dan disokong oleh sponsor, apakah itu masih “seni publik” atau sekadar papan iklan yang dibungkus estetika?
Seni Pesan Sponsor: Indah tapi Terkekang
Pemerintah daerah kini kerap menggandeng seniman untuk proyek “revitalisasi visual”. Kota dipercantik lewat mural “inspiratif”, patung tokoh, atau festival seni bertema nasionalisme, toleransi, atau “kemajuan”.
Masalahnya, banyak dari proyek ini mengandung agenda politik atau ekonomi terselubung. Tema-tema dikurasi ketat: jangan mengkritik pemerintah, jangan memunculkan simbol oposisi, jangan memantik “kontroversi”. Hasilnya adalah seni yang steril, indah tapi aman, estetik tapi tidak menggugah.
Seni menjadi alat pencitraan. Ia dijadikan pelengkap narasi pembangunan dan stabilitas. Bahkan ketika menyentuh isu sosial, ia tetap harus “ramah media” dan “sejalan dengan visi daerah”.
Seni Independen: Liar, Tak Diundang, Tapi Mengena
Sebaliknya, seni publik independen sering muncul diam-diam: grafiti anonim di kolong jembatan, pertunjukan teatrikal di taman kota, atau mural protes di tembok kosong. Seni ini tak tunduk pada sponsor atau tender. Ia berbicara langsung, kasar, personal, dan sering menyentuh titik sakit kota—korupsi, penggusuran, ketimpangan, intoleransi.
Tapi justru karena itu, seni independen sering dibungkam. Aparat membersihkan mural, membubarkan pertunjukan, atau menuduhnya sebagai “vandalisme”. Padahal, dari sinilah suara rakyat kerap lahir.
Siapa yang Menang?
Pertarungan ini bukan sekadar antara estetika dan ekspresi, tapi antara kekuasaan dan kebebasan berpikir. Negara ingin seni yang memperkuat legitimasi; seniman ingin kebebasan berkarya. Ketika seni publik hanya menjadi proyek mercusuar, yang menang adalah birokrasi. Tapi ketika seniman tetap berkarya walau tanpa izin, yang menang adalah demokrasi.
Seni publik idealnya menjadi ruang dialog, bukan hanya hiasan kota. Ia harus bisa mengganggu kenyamanan, memancing obrolan, dan membuka tafsir ganda—bukan sekadar pelengkap wajah Instagram kota.
Penutup: Memulihkan Fungsi Sosial Seni
Jika seni publik hanya berfungsi sebagai pemoles wajah kekuasaan, kita kehilangan fungsi aslinya: seni sebagai cermin sosial dan ruang perlawanan. Maka, yang kita butuhkan bukan lebih banyak mural cantik, tapi lebih banyak ruang bebas bagi ekspresi—meski tak sesuai “narasi resmi”.