
Grafiti Bukan Coretan, Tapi Pesan
Banyak orang melihat grafiti sebagai perusak estetika kota—coretan liar di tembok jembatan atau dinding toko kosong. Tapi bagi sebagian lainnya, grafiti adalah bentuk puisi jalanan, bahasa visual yang berani bicara di saat suara rakyat dibungkam.
Grafiti adalah ruang alternatif ketika mikrofon tidak tersedia, dan ketika protes di ruang formal dianggap mengganggu ketertiban.
Kritik Sosial yang Tak Bisa Dihapus Cat
Beberapa grafiti tidak hanya menampilkan warna, tetapi pesan sosial yang tajam:
- “Mahalnya hidup, murahnya nyawa” – ditulis di bawah kolong jembatan layang
- “Tanah ini dulu milik kami” – tergurat di pagar proyek properti mewah
- “Buruh itu bukan mesin!” – menyala di tembok kawasan industri Cikarang
Ini adalah kritik spontan dan brutal—bukan karena pelukisnya ingin populer, tapi karena mereka tidak punya ruang lain untuk bicara.
Dokumentasi Visual: Goresan dari Kota ke Kota
Tim lapangan kami menelusuri sejumlah grafiti di kota-kota besar dan pinggiran, berikut dokumentasi visual dan pesan yang tersirat:
Jakarta – Tebet
Gambar wajah setengah tengkorak dengan tulisan “Kami masih hidup walau diabaikan”. Terpampang di dinding rel kereta.
Yogyakarta – Kali Code
Tulisan sederhana: “Air ini milik warga, bukan investor”, muncul di dinding dekat proyek apartemen.
Bandung – Dago Atas
Ilustrasi karikatural DPR berbentuk boneka wayang dengan teks “Wakil siapa?”. Dicat di dinding bekas bangunan sekolah.
Makassar – Pelabuhan Paotere
Gambar anak kecil mengangkat papan: “Aku tidak butuh WiFi, aku butuh makan pagi”. Dicoretkan di kontainer bekas.
Siapa yang Melukis Kota?
Para seniman grafiti jalanan seringkali anonim. Mereka tak menandatangani karya mereka. Mereka hanya ingin pesan mereka dilihat.
Banyak dari mereka berasal dari:
- Komunitas seni pinggiran
- Aktivis mahasiswa
- Mantan pelukis mural kampus
- Warga biasa yang marah
Mereka bukan perusak kota, mereka justru membangun kesadaran visual dalam kota yang semakin sunyi dari aspirasi rakyat.
Antara Apresiasi dan Represi
Sayangnya, banyak karya ini hanya bertahan beberapa hari sebelum dihapus pihak berwenang. Ironisnya, mural bertema wisata dibiarkan, tapi mural yang mengkritik justru dianggap kriminal.
“Kami cuma ingin bilang, hidup kami susah. Kalau mural itu bikin malu kota, berarti memang kota ini menyimpan masalah,” ungkap seorang pelaku mural anonim yang karyanya dihapus di Bekasi.
Penutup: Dinding Sebagai Kertas Perlawanan
Grafiti bukan sekadar seni jalanan. Ia adalah bentuk perlawanan diam-diam, suara yang tak ingin tunduk, dan ekspresi yang menolak dibungkam.
Selama kesenjangan dan ketidakadilan masih berlangsung, dinding kota akan terus bicara.