
Mereka yang Tak Pernah Masuk Berita
Pagi buta, kota masih berembun, deru motor belum ramai, dan langit belum benar-benar terang. Tapi di saat itu, banyak ibu-ibu di pinggir kota sudah bersiap:
- Menata kue basah di tampah
- Menyusun gorengan ke dalam plastik bening
- Menyiapkan termos kopi dan teh manis
Mereka adalah penjual keliling, pelapak kaki lima, bagian dari ekonomi informal yang menyokong hidup banyak keluarga. Tapi nama mereka tidak pernah muncul dalam wacana pembangunan kota.
Kota yang Makin Rapi, Tapi Tidak Ramah
Di banyak kota besar, penataan ruang publik semakin ketat. Trotoar diperluas, taman dibuat lebih bersih, dan spanduk pelarangan PKL dipasang di mana-mana.
Namun, di balik wajah kota yang lebih “rapi” itu, ada yang terusir, tergeser, dan hilang.
“Dulu saya biasa jualan di depan halte. Sekarang dipasang pagar, jadi harus keliling terus. Capek, kadang nggak balik modal,” ujar Bu Lastri, 47 tahun, penjual bubur kacang ijo keliling di kawasan Bekasi.
Wawancara Jujur: Suara dari Trotoar
Bu Lastri adalah satu dari ratusan ribu penjual keliling yang hidup dari dagangan harian. Dalam wawancara kami, ia bercerita dengan suara pelan, tetapi penuh kejujuran:
“Saya nggak butuh disuruh pindah ke lapak UMKM di dalam gedung. Orang-orang nggak ke sana. Pembeli saya ya orang lewat, buru-buru kerja, anak sekolah.”
“Kalau pagi hujan, ya nggak jualan. Kalau Satpol PP datang, ya lari. Saya cuma pengen dagang, bukan nyolong.”
Ketika ditanya apakah dia pernah mendapat bantuan resmi dari pemerintah, ia menjawab:
“Dulu waktu pandemi sempat dapet sembako. Tapi sekarang mah, ya usaha sendiri. Jualan keliling itu titik nol saya, titik awal dan titik akhir.”
Titik Nol: Di Mana Semua Dimulai (dan Berakhir)
Titik nol ekonomi bukan hanya tentang kemiskinan. Ini tentang mereka yang hidup tanpa buffer, tanpa tabungan, tanpa jaminan. Hari ini dapat Rp100 ribu, besok bisa tidak makan.
Dan ironisnya, mereka juga yang paling dulu terdampak oleh “kemajuan”. Ketika jalan dibeton dan ruang terbuka disterilkan, tidak ada lagi tempat bernaung bagi mereka.
Kehilangan yang Tidak Dianggap Kehilangan
Kita sering lupa: ketika seorang pelapak kehilangan tempat jualannya, itu bukan sekadar “penertiban”. Itu adalah kehilangan:
- Ruang kerja
- Ruang hidup
- Ruang eksistensi
Tapi karena mereka tak bersuara di media, kehilangan ini dianggap tidak penting.
Pembangunan untuk Siapa?
Pertanyaan yang harus kita ajukan:
Pembangunan kota ini untuk siapa?
Apakah trotoar dan taman hanya untuk mereka yang bisa memotret dan mengunggahnya di Instagram?
“Kalau kota bersih tapi banyak perut lapar, itu bukan kemajuan. Itu pembersihan,” ujar Dedi, aktivis hak PKL di Jakarta Timur.
Penutup: Dari Jalan, Untuk Jalanan
Cerita seperti Bu Lastri adalah pengingat bahwa ekonomi Indonesia tidak hanya bergerak di kantor ber-AC dan layar spreadsheet.
Ada ekonomi di bawah terik matahari, di balik bau knalpot, di gang-gang sempit dan trotoar yang ramai.
Selama ruang-ruang itu tidak diberi tempat, maka pembangunan hanya akan jadi panggung—bukan jembatan.