
Di banyak lini kehidupan, kita sering kali melihat pola yang menunjukkan bahwa kepatuhan lebih dihargai daripada kecerdasan. Bukan berarti cerdas tidak penting, tapi ketika kecerdasan berujung pada kritik, pertanyaan, atau pembangkangan terhadap sistem, maka ia dianggap sebagai ancaman.
1. Sistem Pendidikan: Belajar untuk Nurut, Bukan Bertanya
Sistem pendidikan konvensional cenderung menilai berdasarkan hafalan, bukan pemahaman. Murid yang patuh dianggap baik, sementara yang kritis sering dicap pembangkang. Padahal, kemampuan bertanya dan berpikir kritis adalah inti dari kecerdasan.
2. Dunia Kerja: Ikuti Aturan, Jangan Banyak Tanya
Banyak lingkungan kerja masih mengedepankan struktur hirarkis kaku. Karyawan ideal adalah yang “bekerja sesuai perintah”, bukan yang berani bertanya “kenapa begini?”. Di sinilah terlihat bahwa sistem lebih suka yang patuh daripada yang inovatif, selama inovasi itu mengusik status quo.
3. Politik dan Masyarakat: Kritik Itu Risiko
Ketika warga negara mulai cerdas dan kritis, pertanyaan demi pertanyaan akan bermunculan. Namun, reaksi terhadap kritik sering kali bukan dialog, melainkan pembungkaman. Ini menandakan bahwa pemerintah (atau sebagian elit) lebih nyaman dengan massa yang diam dan mengikuti, daripada masyarakat yang sadar dan mempertanyakan.
Jadi, Apa Solusinya?
Menjadi pintar dan patuh sekaligus memang mungkin, tapi akan selalu ada gesekan ketika kecerdasan mengarah pada kesadaran dan keberanian untuk berkata “ini salah”. Karena itu, yang dibutuhkan bukan hanya warga negara yang pintar, tapi juga sistem yang siap menerima pemikiran kritis sebagai bagian dari kemajuan, bukan ancaman.