Kebenaran Sudah Mati, yang Ada Cuma Versi

Di era digital yang serba cepat, informasi datang dari segala arah. Kita dibanjiri berita, opini, narasi, dan interpretasi. Namun yang mengkhawatirkan adalah—kebenaran tak lagi jadi tujuan utama. Yang tersisa hanyalah versi-versi: versi media, versi tokoh publik, versi teman, bahkan versi algoritma.


1. Kebenaran Tak Lagi Tunggal

Dulu, kebenaran dianggap satu. Kita percaya pada fakta yang bisa dibuktikan, pada data yang objektif. Tapi kini, narasi menjadi senjata, dan siapa yang menguasai narasi bisa memengaruhi persepsi publik. Fakta bisa dibengkokkan, konteks bisa dipotong, dan suara minoritas bisa dibungkam hanya karena tidak cocok dengan versi mayoritas.

Kebenaran menjadi relatif, tergantung siapa yang bicara dan platform mana yang menyuarakannya.


2. Media dan Algoritma: Pabrik Versi Baru

Algoritma media sosial didesain untuk memperkuat bias dan membentuk gelembung informasi. Yang kita lihat bukan dunia nyata, tapi pantulan dari keyakinan dan preferensi kita sendiri. Ini menciptakan ilusi kebenaran. Kita merasa benar karena dikelilingi oleh orang-orang yang sepemikiran.

Versi kita terasa lebih benar, bukan karena faktual, tapi karena divalidasi oleh sistem yang mengutamakan keterlibatan, bukan kebenaran.


3. Opini Lebih Penting dari Fakta

Di ruang publik hari ini, opini sering kali menggantikan fakta. Asal disampaikan dengan percaya diri dan dikemas dengan estetika, sebuah opini bisa dengan mudah diakui sebagai “kebenaran”. Kita mulai kehilangan kemampuan untuk membedakan mana yang fakta, mana yang interpretasi, mana yang manipulasi.

Yang ramai, yang viral, itulah yang dianggap benar. Bukan karena isinya, tapi karena distribusinya.


4. Krisis Kepercayaan Terhadap Institusi

Dunia mengalami penurunan kepercayaan terhadap institusi: pemerintah, media, bahkan sains. Ketika semua institusi dianggap punya agenda, masyarakat jadi skeptis terhadap semua versi. Akibatnya, setiap orang merasa berhak menciptakan “kebenaran”-nya sendiri.

Kebenaran objektif menjadi kabur, digantikan oleh narasi yang paling meyakinkan, bukan yang paling benar.


5. Bagaimana Kita Menyikapinya?

Pertama, kita harus sadar bahwa tidak semua versi itu benar. Belajar memilah informasi dan mempertanyakan sumber adalah langkah awal. Kedua, penting untuk mengakui bahwa kita pun rentan bias. Kita harus aktif keluar dari gelembung informasi dan mencari perspektif lain.

Kebenaran mungkin tak lagi mutlak, tapi itu tidak berarti kita berhenti mencarinya.


Penutup

Ketika kebenaran menjadi barang langka, yang bisa kita lakukan adalah bersikap kritis. Jangan cepat percaya, jangan cepat menyebar. Dunia boleh menawarkan banyak versi, tapi kita tetap punya tanggung jawab untuk mencari versi yang paling dekat dengan kebenaran—bukan versi yang paling nyaman.

Related Posts

Kapitalisme: Agama Baru Tanpa Surga

Kapitalisme bukan hanya sistem ekonomi—ia telah menjelma menjadi cara berpikir, bertindak, bahkan percaya. Layaknya agama, kapitalisme menawarkan janji keselamatan dalam bentuk kekayaan dan kebebasan individu. Tapi tak seperti agama-agama besar…

Media Sosial: Penjara yang Kita Sukai

Di zaman digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan kita. Ia menyuguhkan ruang untuk berekspresi, berjejaring, hingga membangun personal branding. Namun di balik kemudahan itu, tak…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You Missed

Yang Tertawa Belum Tentu Bahagia, Tapi Tak Bisa Menangis

Yang Tertawa Belum Tentu Bahagia, Tapi Tak Bisa Menangis

Negara Gagal Bukan Karena Bodoh, Tapi Karena Rakus

Negara Gagal Bukan Karena Bodoh, Tapi Karena Rakus

Mereka yang Hidup Tanpa Trending Topic

Mereka yang Hidup Tanpa Trending Topic

Kenapa Kita Lebih Percaya Lirik Lagu Daripada Berita?

Kapitalisme: Agama Baru Tanpa Surga

Berisik Tapi Tak Mengganggu Kekuasaan = Hiburan