
Banyak yang berpikir bahwa kegagalan suatu negara berasal dari kurangnya intelektualitas para pemimpinnya. Padahal, sejarah dan realitas hari ini menunjukkan bahwa rakus—bukan bodoh—adalah akar dari banyak krisis yang melanda bangsa-bangsa.
Rakus Kekuasaan, Bukan Kurang Pengetahuan
Negara yang gagal bukanlah negara yang tak tahu cara membangun. Mereka tahu. Mereka punya data, riset, dan bahkan nasihat dari para ahli. Namun, ketika kekuasaan jadi tujuan utama dan bukan alat untuk melayani, maka pembangunan hanya jadi jargon, bukan kenyataan. Korupsi merajalela bukan karena tak tahu itu salah, tapi karena keserakahan lebih kuat dari moralitas.
Ketimpangan Bukan Kebetulan
Ketimpangan sosial yang akut bukanlah dampak tak terduga, tapi hasil langsung dari sistem yang dibiarkan timpang. Akses ke pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi bukan dipersempit karena tak ada dana, tetapi karena dana itu sudah terlebih dahulu “dialirkan” ke kantong yang salah.
Kebijakan Tak Berpihak: Cermin Nafsu Elit
Kebijakan publik yang tak adil bukanlah kebodohan, melainkan strategi. Ketika regulasi lebih berpihak pada pengusaha besar dibanding rakyat kecil, itu bukan salah hitung. Itu keputusan sadar untuk melindungi kepentingan segelintir orang.
Rakyat Dijadikan Tumbal
Dalam negara yang rakus, rakyat bukan prioritas, tapi alat legitimasi. Janji-janji dibuat hanya untuk musim kampanye, setelahnya suara rakyat kembali dikecilkan. Mereka tidak didengar, apalagi diperjuangkan. Ketika negara gagal, yang paling dulu terkena dampaknya adalah mereka yang tak pernah ikut menikmati kuasanya.
Kesimpulan:
Kebodohan bisa diperbaiki dengan pendidikan. Tapi kerakusan? Itu soal karakter. Selama kekuasaan terus menjadi tempat mencari untung, bukan alat melayani, maka kegagalan negara akan selalu mengintai—seberapapun pintarnya para penguasanya.