
Ada hari-hari ketika langit di dalam dada terasa lebih gelap dari malam. Bukan karena tidak ada cahaya, tetapi karena beratnya beban yang sulit dijelaskan. Semua orang pernah merasakannya, meski kadarnya berbeda-beda.
Saat Perasaan Tak Terungkap
Kadang kita tersenyum di luar, tapi di dalam, badai mengamuk. Ada kalimat-kalimat yang ingin diteriakkan, ada air mata yang ingin dibiarkan jatuh, namun semuanya terkurung rapat. Dunia menuntut kita kuat, sementara kita bahkan nyaris tak mampu berdiri.
Tak mengapa. Merasakan kesedihan bukan kelemahan. Itu adalah tanda bahwa kita manusia—penuh dengan warna, bukan hanya cerah, tapi juga kelam.
Membiarkan Diri Merasakan
Menghadapi langit hitam di dalam dada bukan berarti harus mengusirnya cepat-cepat. Kadang, kita hanya perlu diam, duduk bersama rasa itu, dan membiarkannya berbicara. Mungkin ia ingin memberitahu sesuatu: tentang luka yang belum sempat sembuh, tentang mimpi yang sempat terkubur.
Memberi ruang pada perasaan adalah bentuk keberanian. Dengan itu, perlahan-lahan, langit yang hitam akan menemukan kilau bintangnya kembali.
Harapan di Balik Kelam
Tidak ada malam yang abadi. Tidak ada langit yang terus-menerus gelap. Suatu saat, fajar akan datang. Mungkin bukan besok, mungkin bukan minggu ini, tapi cahaya itu pasti ada.
Memelihara harapan, sekecil apa pun, adalah cara kita bertahan. Dan kadang, bertahan saja sudah merupakan kemenangan.