
Dangdut: Musik yang Diremehkan Tapi Mengakar
Selama bertahun-tahun, dangdut kerap ditempatkan di luar lingkar “musik serius”. Dianggap kampungan, murahan, dan hanya untuk hiburan.
Namun di balik stigmanya, dangdut menyimpan energi sosial yang jarang disadari: bentuk kritik, satire, dan ungkapan frustrasi rakyat terhadap struktur yang menindas.
Lirik Dangdut sebagai Jendela Realita
Jika kita menyimak secara utuh, banyak lirik dangdut yang—meski dinyanyikan dengan ringan—justru menyuarakan:
- Ketimpangan sosial
- Ketidakadilan ekonomi
- Kritik terhadap norma patriarkis dan komodifikasi cinta
Misalnya lagu “Gelas-Gelas Kaca” oleh Nia Daniaty. Di balik kisah cinta patah hati, tersimpan gambaran tentang tubuh perempuan yang dilihat dan dihakimi dari luar, seperti kaca etalase.
Lagu “Anak Jalanan” oleh Rhoma Irama secara gamblang berbicara soal anak miskin kota yang kehilangan masa depan karena sistem yang tak memberi ruang.
Cinta sebagai Medan Pertarungan Kelas
Salah satu motif umum dalam dangdut adalah cinta tak sampai karena perbedaan status sosial.
Lagu seperti “Alamat Palsu” (Ayu Ting Ting) dan “Milikku” (Via Vallen) mengemas kisah romansa gagal yang sebenarnya merefleksikan jurang kaya-miskin yang nyata di masyarakat.
Cinta dalam dangdut bukan sekadar urusan hati. Ia adalah medan perjuangan kelas yang sering kali berakhir pada kekalahan mereka yang miskin.
Rhoma Irama: Sang Raja Dangdut dan Imam Sosial
Tak bisa membahas kritik sosial dangdut tanpa menyebut Rhoma Irama.
Dari “Begadang”, “Judi”, hingga “Kehilangan Tongkat”, Rhoma tampil bukan hanya sebagai penyanyi, tapi moral commentator zaman.
Ia menyanyikan apa yang media televisi tak berani tampilkan—tentang korupsi, kemunafikan pemimpin, hingga kemerosotan moral akibat kapitalisme.
Dangdut Koplo dan Ironi Populer
Namun, dekade terakhir membawa perubahan besar: komersialisasi dangdut lewat genre koplo dan remix TikTok.
Banyak lagu dangdut yang kini dikemas lebih vulgar, dan kehilangan narasi kritik sosial yang dulu jadi kekuatannya.
Apakah ini bentuk adaptasi? Atau tanda pemiskinan makna musik rakyat oleh industri hiburan?
Dangdut sebagai Arsip Emosi Kolektif
Terlepas dari bentuknya—klasik, koplo, remix—dangdut adalah arsip liris masyarakat kelas bawah.
Ia menyimpan kesedihan, harapan, protes, dan lelucon yang tak bisa ditulis dalam jurnal atau disuarakan di parlemen.
“Kalau saya marah, saya nyanyi. Kalau saya capek hidup, saya dangdutan.”
— Pak Cokro, penjual angkringan di Yogyakarta
Penutup: Dengarkan Lagi, Tapi Lebih Dalam
Dangdut bukan hanya soal goyang. Ia adalah bahasa rakyat yang menyeberangi batas-batas pendidikan dan ekonomi.
Di dalamnya, terpantul wajah negara: dari kegagalan pembangunan hingga relasi cinta yang dirusak oleh sistem.
Mungkin yang perlu kita lakukan adalah mendengar dengan cara baru.
Karena kritik sosial itu tak selalu hadir dalam debat politik. Kadang ia menyelinap dalam lagu yang diputar keras di hajatan, atau disiulkan pelan oleh tukang becak.