Grafiti Kota: Seni Jalanan sebagai Bentuk Protes Sosial

Grafiti: Coretan atau Pesan Politik?

Di banyak kota besar, grafiti sering dipandang sebagai vandalisme. Namun di balik cat semprot di dinding kosong, jembatan, atau tembok pabrik terbengkalai, terdapat narasi sosial yang tak terbaca oleh media arus utama.

Bagi sebagian seniman jalanan, grafiti adalah alat protes, bentuk ekspresi kemarahan, dan kritik terhadap ketidakadilan. Ia hadir sebagai suara alternatif, ketika kanal formal terlalu sempit atau sengaja ditutup bagi kelompok marjinal.


Suara dari Tembok Kota

Grafiti di jalanan sering mengangkat isu-isu yang dekat dengan masyarakat, misalnya:

  • Kenaikan harga kebutuhan pokok: coretan sederhana seperti “beras mahal, rakyat sengsara” muncul di dinding pasar tradisional.
  • Ketidakadilan hukum: wajah tokoh kontroversial dilukis dengan tanda silang sebagai simbol kekecewaan.
  • Politik lokal: grafiti kampung menolak penggusuran paksa atau proyek properti yang mengorbankan warga.
  • Kesetaraan gender dan hak minoritas: mural menampilkan pesan keberanian melawan diskriminasi.

Grafiti ini menjadi arsip alternatif, menyimpan keresahan warga yang jarang terdokumentasikan dalam berita resmi.


Estetika Perlawanan

Tidak semua grafiti hanya berupa tulisan protes. Banyak yang hadir dengan visual kuat—gambar satir, wajah pemimpin yang diubah grotesk, atau simbol budaya lokal yang dimaknai ulang.

Estetika yang kasar, cepat, dan tanpa izin justru menciptakan kejujuran artistik: seni ini lahir bukan untuk galeri, tapi untuk jalanan. Ia tidak menunggu kurator, melainkan langsung bersentuhan dengan publik yang melewati tembok kota setiap hari.


Reaksi Negara dan Masyarakat

Bagi pemerintah kota, grafiti sering dianggap masalah kebersihan dan keteraturan. Tembok dicat ulang, mural dihapus, bahkan senimannya dikejar aparat.

Namun di sisi lain, masyarakat mulai melihat nilai lain: grafiti sebagai cermin zaman, yang merekam suara yang tidak sempat masuk ke ruang formal. Di beberapa kota, ruang legal untuk mural diberikan, meski tetap menyisakan dilema—apakah seni jalanan masih bisa disebut “perlawanan” jika sudah diatur negara?


Penutup: Tembok Sebagai Media Alternatif

Grafiti kota bukan hanya “sampah visual”. Ia adalah surat terbuka di ruang publik, ditulis dengan cat semprot oleh mereka yang sering tak punya akses ke media atau kekuasaan. Setiap coretan adalah jejak sejarah kecil, tentang rakyat yang menolak diam di tengah hiruk pikuk kota.

Related Posts

Jurnalisme Jalanan: Menguak Kisah dari Pinggiran Kota

Suara yang Tak Terdengar di Media Arus Utama Media besar sering menyoroti isu nasional, politik, atau ekonomi makro. Namun, kehidupan sehari-hari masyarakat marginal—dari pinggiran kota hingga lorong-lorong kumuh—sering luput dari…

Komunitas Jalanan: Suara Perlawanan yang Tersisih

Suara dari Pinggir Jalan Di sudut-sudut kota, di tembok kusam, jembatan layang, hingga ruang-ruang publik terlupakan, hidup komunitas jalanan yang terus bersuara. Mereka bukan sekadar pelukis grafiti, musisi jalanan, atau…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You Missed

Stimulus Natal: Janji Pemerintah, Harapan Masyarakat

Stimulus Natal: Janji Pemerintah, Harapan Masyarakat

Jurnalisme Jalanan: Menguak Kisah dari Pinggiran Kota

Jurnalisme Jalanan: Menguak Kisah dari Pinggiran Kota

Film Tentang Kesepian di Kota Besar: Suara yang Terbungkam

Film Tentang Kesepian di Kota Besar: Suara yang Terbungkam

Kota Tanpa Tradisi: Kehilangan Rasa Gotong Royong

Kota Tanpa Tradisi: Kehilangan Rasa Gotong Royong

Seni Publik: Antara Dana Negara dan Kemandirian Kreatif

Seni Publik: Antara Dana Negara dan Kemandirian Kreatif

Serial TV yang Mengangkat Isu Sosial dan Perlawanan

Serial TV yang Mengangkat Isu Sosial dan Perlawanan