Aku Menulis Karena Tidak Ada yang Mau Dengar

Tidak semua orang punya ruang untuk berbicara. Ada saat ketika kata-kata hanya menggema di kepala sendiri, tidak sampai ke siapa-siapa. Menulis menjadi tempat pelarian ketika dunia terasa terlalu sibuk untuk mendengar.


1. Menulis Adalah Bentuk Perlawanan yang Sunyi

Saat suara kita dianggap tidak penting, atau malah diabaikan, menulis menjadi cara untuk tetap eksis—untuk berkata, “Aku ada.” Di atas kertas atau layar kosong, kita tidak disela. Tidak dihakimi. Hanya kita dan pikiran-pikiran yang akhirnya menemukan jalan keluar.

Setiap kalimat yang tercipta adalah bukti bahwa kita punya sesuatu untuk dikatakan, walau tidak ada yang mau mendengar langsung.


2. Tulisan Menggenggam Emosi yang Tak Tersampaikan

Kadang kita takut berbicara, takut salah, takut tidak dipahami. Tapi lewat tulisan, kita bisa jujur. Menulis menjadi tempat aman untuk menangis, marah, tertawa, bahkan mencintai diam-diam. Tak harus sempurna, tak harus indah. Yang penting: nyata.

Dengan menulis, kita tidak hanya mengungkapkan isi hati, tapi juga menyembuhkan luka yang tak terlihat.


3. Dari Sunyi, Tercipta Makna

Ironisnya, dalam diam itulah makna sering muncul. Menulis adalah proses memahami diri sendiri. Ketika tidak ada yang bertanya “apa kabar?”—tulisan menjawabnya untuk kita. Ia hadir seperti sahabat yang tak pernah bosan menampung isi kepala.

Di balik sunyi, lahir suara-suara yang lebih dalam, lebih jujur, dan lebih abadi.


4. Menulis Itu Mendengar Diri Sendiri

Kadang kita menulis bukan karena ingin didengar orang lain, tapi karena ingin mendengar suara hati sendiri yang lama terabaikan. Dalam dunia yang penuh kebisingan, kita justru kehilangan diri. Maka tulisan menjadi kompas: ia menunjukkan ke mana kita sebenarnya ingin melangkah.

Menulis jadi cara untuk kembali pulang ke dalam diri.


5. Dan Jika Suatu Hari Dibaca Orang…

Mungkin hari ini tulisanmu hanya dibaca olehmu sendiri. Tapi siapa tahu esok nanti, tulisan itu menemukan hati lain yang merasa sama. Yang juga merasa tak didengar. Yang juga merasa sendiri. Dan saat itu terjadi, kamu tidak lagi sendirian.

Karena ternyata, suara yang paling sunyi bisa menyentuh paling dalam.


Penutup

Menulis bukan karena sok tahu, bukan karena merasa paling benar. Tapi karena kadang, itu satu-satunya cara agar kita tetap waras. Saat tak ada yang mau dengar, setidaknya tulisan kita tetap bersuara.

Related Posts

Stimulus Natal: Janji Pemerintah, Harapan Masyarakat

Janji Pemerintah di Akhir Tahun Setiap menjelang Natal dan akhir tahun, pemerintah biasanya mengumumkan bantuan sosial atau stimulus: mulai dari uang tunai, paket sembako, hingga diskon tarif listrik atau transportasi…

Kota Tanpa Tradisi: Kehilangan Rasa Gotong Royong

Gotong Royong: Identitas yang Mulai Pudar Gotong royong bukan sekadar membantu tetangga membangun rumah atau membersihkan lingkungan. Ia adalah roh kebersamaan, sebuah nilai yang menegaskan bahwa manusia tidak bisa hidup…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You Missed

Stimulus Natal: Janji Pemerintah, Harapan Masyarakat

Stimulus Natal: Janji Pemerintah, Harapan Masyarakat

Jurnalisme Jalanan: Menguak Kisah dari Pinggiran Kota

Jurnalisme Jalanan: Menguak Kisah dari Pinggiran Kota

Film Tentang Kesepian di Kota Besar: Suara yang Terbungkam

Film Tentang Kesepian di Kota Besar: Suara yang Terbungkam

Kota Tanpa Tradisi: Kehilangan Rasa Gotong Royong

Kota Tanpa Tradisi: Kehilangan Rasa Gotong Royong

Seni Publik: Antara Dana Negara dan Kemandirian Kreatif

Seni Publik: Antara Dana Negara dan Kemandirian Kreatif

Serial TV yang Mengangkat Isu Sosial dan Perlawanan

Serial TV yang Mengangkat Isu Sosial dan Perlawanan