Ketika Medsos Tak Lagi Sosial
Di awal kemunculannya, media sosial dipromosikan sebagai ruang baru demokrasi: tempat orang bisa berbagi opini, belajar dari perspektif berbeda, dan membangun solidaritas. Namun, dua dekade setelahnya, impian itu terasa jauh. Yang hadir kini adalah medan perang ego, caci maki, dan cancel culture.
Apakah kita masih berdialog—atau sudah terjebak dalam budaya kekerasan digital?
Arena Baru Kekerasan Simbolik
Pierre Bourdieu menyebut “kekerasan simbolik” sebagai dominasi yang terjadi bukan lewat fisik, tapi melalui bahasa dan makna. Media sosial kini jadi lahan subur bentuk kekerasan ini:
- Penghinaan berbasis identitas
- Framing jahat dan pemelintiran narasi
- Penggiringan massa untuk menyerang satu pihak
- Pengaburan fakta lewat meme provokatif
Dalam banyak kasus, perdebatan soal kebijakan atau opini publik berubah jadi ladang bullying dan ancaman doxing.
Algoritma Memihak Amarah
Mengapa debat online makin brutal? Salah satu jawabannya: algoritma menyukai konflik.
Konten yang memancing emosi—marah, takut, jijik—lebih banyak dibagikan. Maka tak heran:
- Cuitan yang paling kasar sering viral
- Video yang menyerang personal naik ke trending
- Thread penuh tuduhan sering muncul di explore
Sementara itu, konten edukatif, diskusi panjang, atau klarifikasi jarang naik karena dianggap “tidak menarik.”
Dialog Jadi Pertarungan Siapa Lebih Keras
Budaya debat sehat yang dibangun di dunia akademik—argumen berbasis data, mendengarkan, klarifikasi—sulit hidup di Twitter, TikTok, atau Facebook.
Yang menggantikan adalah:
- Sarkasme over data
- Pukulan ad hominem
- Tendensi baper massal
- Labelisasi tanpa verifikasi
“Kalau kamu nggak marah, berarti kamu bagian dari masalah.”
—Slogan digital yang menekan semua pihak untuk berpihak ekstrem
Dampak Nyata: Trauma dan Polarisasi
Fenomena ini tidak berhenti di layar. Banyak korban doxing mengalami:
- Ancaman kekerasan nyata
- Serangan ke keluarga dan pekerjaan
- Gangguan mental (anxiety, depresi, insomnia)
- Isolasi sosial karena “dicap” secara digital
Tak sedikit aktivis, jurnalis, atau pelajar yang mundur dari ruang publik digital karena merasa tak aman.
Di level masyarakat, debat online yang brutal memperparah polarisasi politik, agama, dan kelas sosial. Semua orang jadi curiga, defensif, dan mudah tersulut.
Apakah Ada Ruang Pemulihan?
Kita tidak bisa berharap penuh pada platform—mereka bekerja berdasarkan klik dan waktu tayang. Tapi sebagai pengguna, kita bisa mulai membangun ruang alternatif:
- Komunitas online yang memoderasi dialog
- Platform independen berbasis nilai kolektif
- Kampanye digital literasi debat sehat
- Melatih budaya slow response, verifikasi, dan empati
Dialog tak akan lahir dari kecepatan dan ledakan emosi, tapi dari niat saling paham dan mendengarkan.
Penutup: Saatnya Kembali ke Dialog
Jika kita ingin ruang publik yang sehat—baik offline maupun online—maka kita harus menggugat kebiasaan menyerang dan mulai membiasakan mendengar. Karena jika media sosial hanya jadi panggung kekerasan simbolik, maka kebebasan berbicara berubah menjadi senjata yang saling melukai.
Saatnya bertanya kembali:
Apakah kita sedang berdialog, atau hanya saling menghancurkan?







