Janji Hunian Terjangkau
Pemerintah kerap mengusung program rumah susun sederhana (rusunawa) sebagai solusi krisis perumahan urban. Narasi yang dibangun sederhana: masyarakat berpenghasilan rendah bisa memiliki tempat tinggal layak dengan harga terjangkau.
Namun, janji itu sering kali berbanding terbalik dengan realita di lapangan. Banyak penghuni justru menghadapi tekanan sosial, ketidaknyamanan ruang, dan minimnya fasilitas.
Ruang Hidup yang Sempit dan Renta
Kehidupan di rusun murah diwarnai keterbatasan ruang.
- Unit sempit membuat satu keluarga harus berbagi ruang tidur, dapur, hingga ruang tamu dalam satu petak yang tak sampai 36 meter persegi.
- Minim ventilasi dan pencahayaan alami berakibat pada kesehatan penghuni.
- Fasilitas umum terbatas seperti lift yang sering rusak atau area bermain anak yang nyaris tak terawat.
Alih-alih menjadi hunian layak, banyak rusun hanya menjadi kotak beton berlapis-lapis yang terasa lebih seperti tempat transit ketimbang rumah.
Konflik Sosial yang Tak Terhindarkan
Selain persoalan fisik, rusun murah juga menyimpan tensi sosial.
- Persaingan antar penghuni. Dengan latar belakang ekonomi yang mirip, sering muncul gesekan terkait penggunaan fasilitas bersama: parkir, air, hingga saluran listrik.
- Stigma sosial. Penghuni rusun kerap dipandang “kelas dua” dibandingkan masyarakat yang tinggal di perumahan tapak.
- Kriminalitas kecil. Pencurian, perselisihan antarwarga, hingga konflik antar-kelompok sering muncul akibat kepadatan dan tekanan ekonomi.
Peran Negara yang Setengah Hati
Ironisnya, proyek rusun murah kerap dijadikan simbol keberhasilan pembangunan. Namun, setelah seremoni peresmian selesai, perhatian negara pada keberlanjutan hunian minim.
- Manajemen pengelolaan lemah. Banyak rusun tidak memiliki badan pengelola yang profesional.
- Pendanaan terbatas. Perawatan fasilitas rusun sering mengandalkan iuran penghuni yang tidak selalu lancar.
- Keterasingan sosial. Alih-alih memberdayakan komunitas, penghuni sering dibiarkan beradaptasi sendiri dalam ruang sempit penuh tekanan.
Jalan Keluar: Hunian Layak Bukan Sekadar Slogan
Solusi krisis perumahan tidak bisa berhenti pada pembangunan fisik. Rusun harus dilihat sebagai ruang sosial hidup yang butuh dukungan berkelanjutan.
- Perencanaan partisipatif. Penghuni perlu dilibatkan dalam desain dan tata kelola rusun.
- Fasilitas sosial memadai. Taman, ruang komunitas, dan layanan kesehatan harus jadi bagian integral.
- Kebijakan serius. Hunian layak adalah hak dasar warga, bukan sekadar proyek politik lima tahunan.
Penutup
Rusun murah sering kali hanya jadi ilusi hunian terjangkau. Di balik retorika pembangunan, penghuni menghadapi kenyataan pahit berupa ruang sempit, konflik sosial, dan keterasingan struktural.
Jika negara benar-benar ingin menyelesaikan masalah perumahan, maka rusun tidak cukup dibangun—ia harus dirawat, dikelola, dan dimanusiakan.







