
Tradisi yang Kini Berwajah Sponsorship dan Baliho
Festival budaya dulunya lahir dari akar kehidupan masyarakat—ritus panen, doa bersama, atau simbol harmoni antara manusia dan alam. Tapi dalam dua dekade terakhir, bentuk-bentuk tradisi ini berubah drastis. Dari ruang sakral menjadi ruang branding.
Baliho tokoh politik membentang di depan panggung adat. Seremoni sakral disisipi pidato elite daerah. Maskot politik mengenakan kostum tradisional. Apakah ini bentuk apresiasi? Atau penunggang kepentingan?
Budaya Lokal: Sumber Legitimasi Murah dan Emosional
Budaya adalah bahasa identitas. Maka tak heran, politik menjadikannya alat retoris yang kuat. Ketika calon pejabat berlenggak dalam tarian adat atau mengenakan ikat kepala khas suku tertentu, yang dicari bukan pemahaman nilai—tetapi simpati massa.
“Kami ingin menunjukkan bahwa pemimpin dekat dengan rakyat dan menjunjung budaya,”
kata seorang staf komunikasi politik di sebuah festival adat Sulawesi.
Padahal, kedekatan itu kerap semu. Tak ada keberlanjutan setelah festival selesai. Masyarakat adat tetap termarginalkan. Dukungan atas budaya hanya hadir selama masa kampanye.
Sponsorship Politik: Di Balik Anggaran dan Panggung
Tak sedikit festival yang didanai secara politis. Anggaran APBD mengalir ke “pesta rakyat” yang formatnya dimodifikasi demi ruang tampil tokoh tertentu. Panggung budaya berubah jadi panggung elektoral.
Bahkan, dalam banyak kasus, festival budaya diadakan bukan karena urgensi komunitas, melainkan untuk mengisi kalender politik daerah. Hasilnya? Acara besar, namun dangkal. Panggung megah, tapi jiwa budayanya hampa.
Komodifikasi Tradisi: Seni yang Kehilangan Daya Kritik
Beberapa tradisi memiliki unsur kritik sosial—baik lewat tari, lagu, atau satire lokal. Namun kini, ekspresi budaya dibungkam atas nama “netralitas acara”. Kritik sosial diredam, seniman lokal dikurasi sesuai selera sponsor.
“Kami diminta ganti naskah karena terlalu menyindir kondisi jalan rusak,”
ujar seorang penari tradisional di NTT.
Seni jadi sekadar hiburan visual. Bukan lagi ekspresi perlawanan, tapi pengiring tepuk tangan bagi pejabat.
Penutup: Merawat Budaya, Bukan Menungganginya
Budaya lokal bukan dekorasi politik. Ia tumbuh dari sejarah, nilai, dan luka kolektif. Memanfaatkan festival budaya sebagai kendaraan pencitraan bukan hanya manipulatif, tapi juga merusak keaslian akar budaya.
Sudah saatnya masyarakat dan komunitas adat mengklaim kembali ruang budayanya. Mengubah festival menjadi ajang refleksi, bukan seremoni elitis. Agar budaya tak lagi menjadi korban pencitraan, melainkan kembali menjadi suara masyarakat.