
Janji Lama, Luka Baru
Rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa) dan perumahan murah bersubsidi selalu menjadi jualan politik menjelang pemilu. Brosur penuh warna, harga terjangkau, dan embel-embel “layak huni” digembar-gemborkan ke publik. Tapi ketika warga masuk ke unit kecil 21–36 meter persegi itu, mimpi cepat berubah jadi tekanan.
“Dulu kami tinggal di kampung, bisa berinteraksi, ada udara. Sekarang? Semuanya dikurung dalam beton,” keluh Ibu Lis, penghuni rusun di Jakarta Barat yang kami temui.
Konflik Struktural: Bukan Sekadar Ukuran Ruang
Permasalahan utama bukan cuma sempitnya unit atau tipisnya dinding yang membuat semua percakapan tetangga terdengar. Ada tumpukan konflik struktural yang jarang dibahas:
- Pengelolaan buruk: Sampah menumpuk, lift sering mati, dan pengaduan warga jarang direspons.
- Stigma sosial: Rusun identik dengan “warga gusuran”, menciptakan sekat sosial antara penghuni dan masyarakat luar.
- Kontrol berlebihan: CCTV di setiap sudut, jam malam, pembatasan aktivitas—semua atas nama “ketertiban”, tapi menghilangkan rasa rumah.
Surga untuk Siapa?
Di atas kertas, rusun sederhana terlihat masuk akal: menyediakan tempat tinggal murah di pusat kota. Tapi kenyataannya, beberapa unit justru jadi ladang bisnis baru. Ada praktik sewa kembali dengan harga tinggi, unit tak berpenghuni karena dijadikan investasi diam-diam oleh oknum berduit.
Di sisi lain, penghuni asli dari kampung kota yang digusur malah tak sanggup bayar iuran bulanan, listrik, air, dan parkir. Akhirnya, mereka kembali ke pinggir rel atau ke kampung semula yang kini lebih sempit dan tak aman.
Lingkungan Tak Mendukung Tumbuh
Anak-anak bermain di lorong sempit. Tak ada taman layak. Lapangan olahraga rusak. Minim ruang publik yang sehat. Rusun yang katanya “layak” justru mewakili pembatasan ruang hidup, bukan pembebasan dari belenggu kemiskinan.
Para penghuni hidup di antara tumpukan regulasi tanpa suara dalam pengambilan keputusan. Siapa yang sesungguhnya punya kuasa atas ruang mereka?
Apakah Ini Bentuk Baru Kolonialisasi Perkotaan?
Perumahan murah bagi rakyat miskin seolah dirancang bukan untuk memanusiakan, tapi untuk merapikan wajah kota. Kampung yang dianggap “semrawut” digusur, lalu rakyatnya dipindahkan ke struktur beton bertingkat. Rapi di peta, tapi jauh dari ideal.
Di balik narasi “kota inklusif dan ramah hunian”, ada praktik pengendalian yang halus: pembatasan mobilitas, kontrol sosial, dan segregasi kelas.
Penutup: Warga Butuh Rumah, Bukan Sekadar Unit
Solusi hunian untuk rakyat tidak bisa hanya dinilai dari jumlah unit yang dibangun. Yang dibutuhkan warga adalah ruang hidup yang manusiawi, aman, dan layak secara sosial maupun psikologis.
Tanpa itu semua, rusun hanyalah tempat bertahan hidup, bukan tempat untuk hidup.