
Budaya sejatinya adalah warisan bersama yang mencerminkan identitas, nilai, dan jati diri suatu bangsa. Namun, dalam praktiknya, budaya sering kali menjadi alat politik. Festival, pertunjukan seni, hingga perayaan adat tidak jarang dijadikan panggung pencitraan untuk memperkuat popularitas tokoh tertentu. Fenomena ini dikenal sebagai politisasi budaya, yakni penggunaan elemen budaya demi kepentingan politik.
Budaya sebagai Alat Legitimasi Politi
Sejak lama, budaya telah dimanfaatkan untuk meneguhkan kekuasaan. Para pemimpin kerap menghadirkan diri dalam ruang-ruang budaya untuk menunjukkan kedekatan dengan rakyat. Misalnya dengan menghadiri festival, mengenakan pakaian adat, atau menggunakan simbol budaya tertentu.
Strategi ini bertujuan menciptakan citra bahwa pemimpin adalah bagian dari masyarakat, dekat dengan tradisi, dan peduli terhadap warisan budaya.
Festival sebagai Panggung Pencitraan
Festival budaya pada dasarnya adalah ajang merayakan keragaman dan memperkuat identitas komunitas. Namun, dalam konteks politik, festival bisa berubah menjadi arena kampanye terselubung.
- Pemimpin atau calon pejabat hadir sebagai “tamu kehormatan”.
- Acara budaya dihiasi simbol politik tertentu.
- Panggung pertunjukan digunakan untuk menyampaikan pesan politik.
Akibatnya, makna budaya yang seharusnya murni sering tereduksi menjadi alat propaganda.
Dampak Politisasi Budaya
Politisasi budaya dapat berdampak ganda:
- Positif – Budaya mendapat ruang eksposur lebih luas, didukung anggaran, dan dihidupkan kembali.
- Negatif – Budaya kehilangan kemurnian, menjadi komoditas politik, dan nilai aslinya tereduksi oleh kepentingan jangka pendek.
Di titik ini, budaya bukan lagi sekadar warisan leluhur, tetapi instrumen strategi politik.
Antara Identitas dan Kepentingan
Penggunaan budaya dalam politik sering kali menciptakan dilema. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk menjaga dan melestarikan tradisi. Namun di sisi lain, keterlibatan politik yang terlalu kuat bisa mengaburkan batas antara penghormatan terhadap budaya dan eksploitasi simbolik untuk kekuasaan.
Refleksi: Menjaga Keseimbangan
Masyarakat sebagai pemilik budaya perlu kritis dalam melihat fenomena ini. Festival dan perayaan budaya seharusnya tetap menjadi ruang bagi ekspresi identitas dan solidaritas, bukan semata ajang pencitraan politik.
Penting untuk membedakan antara upaya pelestarian budaya yang tulus dengan manipulasi budaya demi kepentingan sesaat.
Penutup
Politik dan budaya memang sulit dipisahkan, namun penting untuk menjaga agar budaya tidak sekadar menjadi “kostum” politik. Festival dan perayaan seharusnya menguatkan identitas masyarakat, bukan sekadar panggung pencitraan. Dengan kesadaran kritis, kita bisa memastikan bahwa warisan budaya tetap terhormat, meski berada dalam pusaran politik.