Sekolah: Hak atau Kemewahan?
Di atas kertas, pendidikan adalah hak setiap warga negara. Namun, realita di lapangan menunjukkan sesuatu yang berbeda. Biaya sekolah terus meningkat—mulai dari seragam, buku, iuran komite, hingga uang kegiatan—membuat banyak keluarga miskin kewalahan.
Walaupun pemerintah mengumandangkan program “pendidikan gratis”, orang tua tetap harus mengeluarkan biaya tambahan yang seringkali lebih besar dari yang mereka mampu.
Kisah Keluarga di Bawah Garis Kemiskinan
Di sebuah desa di Jawa Tengah, Budi, anak kelas 3 SD, hampir putus sekolah karena orang tuanya tidak sanggup membayar biaya perlengkapan sekolah yang diminta menjelang tahun ajaran baru. Ayahnya bekerja sebagai buruh harian lepas, ibunya membantu di warung kecil.
“Sekolah katanya gratis, tapi setiap awal tahun kami harus cari pinjaman untuk beli seragam dan buku. Kadang harus milih, bayar listrik atau bayar sekolah anak,” kata sang ibu.
Rinciannya: Biaya yang Tidak Pernah Benar-Benar Gratis
Meskipun SPP dihapus, ada biaya lain yang sering membebani:
- Seragam sekolah dan atribut yang wajib dibeli di toko tertentu.
- Buku pelajaran yang tidak sepenuhnya disediakan gratis.
- Uang komite sekolah yang sifatnya “sukarela” tapi terasa wajib.
- Biaya ekstrakurikuler dan studi lapangan yang sering tidak ada subsidi.
Bagi keluarga dengan pendapatan di bawah UMR, pengeluaran ini bisa setara dengan 20-40% pendapatan bulanan.
Janji Pemerintah vs Kenyataan
Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) diharapkan menjadi solusi, tetapi:
- Penyaluran dana sering terlambat.
- Nilai bantuan tidak cukup menutupi seluruh kebutuhan sekolah.
- Tidak semua anak miskin terdaftar karena masalah data dan birokrasi.
Akibatnya, sebagian anak harus absen, bekerja membantu orang tua, atau bahkan putus sekolah.
Dampak Jangka Panjang
Biaya pendidikan yang tinggi menciptakan lingkaran setan kemiskinan: anak dari keluarga miskin sulit mendapat pendidikan layak, sehingga kesempatan kerja mereka terbatas di masa depan. Hal ini memperlebar jurang sosial dan ekonomi di masyarakat.
Tidak hanya itu, akses pendidikan yang timpang juga memperlemah kualitas SDM negara secara keseluruhan.
Jalan Keluar yang Mendesak
Solusi untuk mengatasi masalah ini meliputi:
- Subsidi penuh untuk kebutuhan dasar sekolah (seragam, buku, transportasi).
- Perbaikan data penerima bantuan agar tepat sasaran.
- Penghapusan pungutan liar berkedok iuran sukarela.
- Kontrol harga seragam dan buku dengan regulasi ketat.
- Peningkatan peran sekolah negeri agar tidak kalah kualitas dengan swasta.
Penutup: Pendidikan Bukan Hak Istimewa
Pendidikan seharusnya menjadi hak dasar, bukan kemewahan yang hanya bisa dibeli oleh mereka yang mampu. Jika pemerintah benar-benar ingin mencerdaskan bangsa, kebijakan harus berpihak penuh pada keluarga miskin—bukan sekadar retorika dalam pidato.







