
Era Informasi atau Era Kekacauan?
Setiap detik, layar ponsel kita memancarkan gelombang data: breaking news, update bencana, drama viral, obrolan grup WhatsApp keluarga, hingga notifikasi pekerjaan.
Semua bersaing merebut perhatian. Semua mendesak untuk dibaca “sekarang juga”.
Kita hidup di tengah banjir informasi yang tak bisa disaring, dan perlahan-lahan, banyak dari kita tenggelam secara mental.
Infodemi: Kelelahan Psikis dalam Dunia Terhubung
WHO pernah menyebut istilah “infodemic” untuk menjelaskan kondisi ini: terlalu banyak informasi, sehingga sulit membedakan mana yang benar, relevan, atau sekadar membuat cemas.
Studi dari Harvard Medical School mengungkap bahwa paparan informasi berlebih dapat memicu stres kronis, kecemasan, dan depresi ringan hingga berat.
Kita bukan hanya kelelahan bekerja.
Kita kelelahan memproses dunia.
Efek Riil: Otak Penuh, Pikiran Kosong
Kondisi mental saat banjir informasi tak bisa dianggap remeh. Beberapa gejala umum yang mulai dianggap “normal”, padahal sinyal bahaya:
- Merasa lelah padahal tidak melakukan aktivitas fisik
- Susah fokus dan cepat terdistraksi oleh notifikasi
- Kecemasan tanpa sebab jelas setiap habis scroll medsos
- Ketergantungan untuk terus update berita, meski bikin resah
Banyak orang mulai mengalami yang disebut sebagai “fatigue digital”—kelelahan mental akibat interaksi berlebih dengan layar dan data.
Paradox of Connection
Kita terhubung dengan segalanya, tapi terputus dari diri sendiri.
Kita tahu peristiwa di Gaza, banjir di Kalimantan, gempa di Jepang—tapi lupa kapan terakhir kali tidur nyenyak tanpa ponsel di bawah bantal.
“Dulu aku bisa baca buku seharian. Sekarang 3 halaman saja sudah ngecek HP lima kali.”
— Wulan, 29 tahun, editor buku
Informasi yang dulunya memberdayakan, kini seringkali menghantui.
Kita hidup dalam mode reaktif—selalu menanggapi, tak pernah berhenti.
Algoritma dan Eksploitasi Atensi
Jangan lupakan aktor penting dalam banjir informasi: platform digital itu sendiri.
Algoritma mereka dirancang untuk membuat kita terus menggulir, terus bertahan di dalam loop tak berujung.
Likes, komentar, video pendek, breaking news—semuanya bukan hanya konten. Mereka adalah produk yang mengonsumsi perhatian kita sebagai bahan bakar.
Dan ironisnya: atensi kita habis, tapi dunia tidak benar-benar berubah.
Saatnya Mengambil Jarak
Mental break bukan bentuk kemalasan. Ia adalah kebutuhan eksistensial.
Beberapa langkah kecil yang bisa menyelamatkan ketenangan mental:
- Puasa informasi 1 hari dalam seminggu
- Matikan notifikasi aplikasi yang tidak darurat
- Konsumsi berita dari sumber terpercaya sekali sehari, bukan tiap menit
- Kembalikan kendali: baca karena butuh, bukan karena panik tertinggal
Penutup: Bukan Anti-Informasi, Tapi Pro-Kewarasan
Kita tidak harus anti-berita, anti-media, atau anti-internet. Tapi kita perlu membangun batas yang waras.
Karena jika tidak, maka banjir informasi akan terus melanda, dan kita—manusia yang penuh emosi dan keterbatasan—akan terus dihantam tanpa waktu mengeringkan luka.
Mental break adalah perlawanan kecil namun penting. Demi tetap manusia, di tengah dunia yang terlalu bising.