
Di Era KTP Digital, Apakah Kita Masih Memiliki Privasi?
Pemerintah Indonesia resmi mengintegrasikan data kependudukan dalam bentuk KTP Digital (Identitas Kependudukan Digital). Lewat satu aplikasi, semua data personal—nama, NIK, KK, bahkan NPWP dan vaksin—bisa diakses dalam satu genggaman.
Kesan awalnya: efisiensi, praktis, ramah teknologi.
Tapi di balik itu semua, muncul pertanyaan mendasar:
Apakah ini bentuk kemajuan atau awal dari pengawasan total?
Apa Itu KTP Digital?
KTP digital adalah versi elektronik dari identitas fisik warga negara yang bisa diakses melalui aplikasi resmi dari pemerintah. Ia tidak hanya berfungsi sebagai KTP, tapi juga bisa menggabungkan:
- Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
- Data vaksinasi
- Data kepemilikan SIM/STNK
- Rekam jejak kependudukan, bahkan aktivitas pemilu
Semua berada dalam satu server pemerintah, terkoneksi lintas lembaga.
Profil Risiko: Kita Diukur, Dinilai, Diklasifikasikan
Dengan data sebesar itu, sangat mungkin terjadi profiling terhadap warga:
Siapa yang sering berpindah domisili?
Siapa yang belum vaksin?
Siapa yang aktif kritik pemerintah di media sosial?
Siapa yang punya pinjaman menunggak tapi tetap sering belanja digital?
Dari sini, warga bisa dinilai sebagai risiko. Bukan hanya untuk urusan finansial, tapi juga politik dan sosial.
Potensi Bahaya: Privasi yang Diambil Diam-Diam
Berikut adalah ancaman nyata dari sistem identitas digital terpusat1. Pelacakan Lokasi & Pergerakan
Jika data terhubung dengan transaksi dan lokasi login, warga bisa dilacak ke mana pun mereka pergi. Bahkan tanpa disadari.
2. Kontrol Sosial Terselubung
Negara bisa membatasi layanan publik terhadap individu “berisiko tinggi” (menunggak pajak, tidak vaksin, mengkritik kebijakan).
3. Data Dipakai Tanpa Persetujuan
Tanpa transparansi dan kontrol publik, data warga bisa digunakan oleh pihak ketiga: vendor, pemodal politik, bahkan lembaga intelijen.
Bukti Nyata: Kebocoran dan Komersialisasi Data
Indonesia punya sejarah panjang kebocoran data—dari BPJS, PLN, hingga data vaksinasi. Namun hingga kini tidak ada satupun yang benar-benar ditindak serius.
“Data penduduk itu tambang emas baru. Kalau jatuh ke tangan salah, bisa jadi alat represi dan manipulasi publik,” ujar Ika Hartati, peneliti digital rights dari Digital Insight Asia.
Siapa Mengawasi Sang Pengawas?
Yang jadi masalah bukan teknologinya, tapi absennya kontrol independen terhadap sistem data negara.
- Apakah ada lembaga sipil yang bisa memeriksa siapa yang mengakses data kita?
- Apakah warga bisa menghapus data sendiri?
- Siapa yang bertanggung jawab jika data disalahgunakan?
Tanpa akuntabilitas, KTP digital bukan hanya identitas. Ia bisa berubah menjadi alat senjata birokratis terhadap rakyat.
Penutup: Dari Digitalisasi ke Otoritarianisme Data?
Kita sedang berada di era di mana identitas bukan hanya kartu.
Identitas adalah jejak, kebiasaan, lokasi, dan pola pikir.
Ketika semua itu dikuasai dan dipantau oleh satu entitas negara—tanpa transparansi dan mekanisme banding—maka digitalisasi bukanlah kemajuan.
Ia bisa jadi bentuk baru kontrol yang lebih halus, tapi lebih dalam.