
Mereka Tak Punya Panggung, Tapi Punya Suara
Di balik trotoar yang retak, tembok penuh grafiti, dan kolong flyover yang berisik, ada kehidupan yang berdetak keras—komunitas jalanan. Mereka bukan hanya sekumpulan remaja tanpa arah. Mereka adalah bentuk paling jujur dari keresahan, ekspresi, dan perlawanan budaya.
“Skatepark resmi? Nggak pernah ada. Kami pakai lantai parkir kosong buat latihan,” ujar Bima, 19 tahun, skater dari wilayah Tanah Abang.
Ruang Semu Bernama Jalanan
Bagi komunitas punk, skateboarder, seniman mural, hingga pemusik jalanan, jalanan adalah panggung sekaligus rumah. Mereka membentuk solidaritas sendiri—tanpa sponsor, tanpa surat izin, tanpa subsidi.
Namun ruang ini juga selalu terancam. Aparat, razia, pembangunan mall baru, hingga penggusuran berkedok “penertiban” membuat ruang-ruang ekspresi ini kian menyempit. Jalanan yang dulu bebas kini dipasangi pagar pembatas dan CCTV.
Punk Bukan Tren, Tapi Sikap Hidup
Komunitas punk jalanan adalah wajah keras dari generasi yang ditolak sistem. Mereka hidup mandiri, menjahit baju sendiri, menyablon kaus solidaritas, menulis zine, dan membuat lagu protes.
“Orang kira kita urakan, padahal kami punya kode etik: nggak nyampah, nggak mabuk di jalan, bantu yang lapar,” jelas Didi, 24 tahun, vokalis band punk indie yang sering manggung di emperan toko tutup.
Panggung mereka? Kolong jembatan. Sound system mereka? Bikinan sendiri. Tapi isi lirik mereka lebih jujur dari talkshow TV manapun.
Seni Tanpa Galeri
Seniman mural dan graffiti artist juga bagian penting komunitas ini. Mereka melukis dinding kota dengan protes diam: potret buruh, wajah-wajah hilang, satire politik. Mereka membangun galeri publik yang terus disapu cat putih oleh pemerintah.
Tapi itu tak membuat mereka berhenti. Malam hari, saat kota tidur, mereka kembali bekerja, membawa pesan-pesan yang tak sempat ditayangkan televisi.
Skateboard: Lebih dari Olahraga
Skateboard bukan cuma gaya hidup, tapi juga bentuk klaim ruang publik. Skatepark kota jarang tersedia atau tidak inklusif. Maka para skater menciptakan skate spot sendiri di trotoar kosong, lantai pelataran gedung, bahkan bekas SPBU.
Namun mereka juga harus menghadapi pengusiran, pelarangan, dan stereotip sebagai “pengganggu ketertiban”.
Padahal yang mereka butuhkan cuma aspal datar, dan hak untuk tidak diusir.
Perlawanan yang Tidak Viral
Mereka tidak trending. Tidak masuk talkshow. Tidak diliput media besar kecuali saat dianggap mengganggu. Tapi komunitas jalanan punya satu hal yang tak bisa dimanipulasi: otentisitas.
Di balik kesederhanaan mereka, ada bentuk perlawanan yang konsisten dan bernyali: melawan penggusuran budaya, dominasi komersialisme, dan ketimpangan ruang kota.
Penutup: Kota Tanpa Mereka, Kota Tanpa Jiwa
Jika kota hanya memberi ruang pada gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan, dan estetika steril, maka kita sedang membunuh denyut kultural kota itu sendiri. Komunitas jalanan—meski tanpa panggung, tanpa subsidi, tanpa headline—adalah jantung sosial kota.
Mereka bukan masalah. Mereka adalah penanda bahwa kota ini masih punya nurani.