
Ketika Sekolah Berpindah ke Layar
Pandemi telah memaksa pendidikan untuk berubah bentuk. Kelas berpindah dari ruang fisik ke ruang digital. Dan di atas kertas, semua tampak seperti solusi ideal—fleksibel, modern, efisien.
Tapi di balik layar laptop, ada jutaan anak dari keluarga miskin yang tak bisa ikut duduk di kelas digital. Mereka tak punya gawai memadai, sinyal stabil, atau ruang belajar yang layak.
“Waktu guru bilang ‘buka Zoom’, saya cuma bisa nangis. HP bapak jadul, sinyal di rumah juga hilang-muncul.”
— Fadilah, siswa SMP di Lombok Timur
Infrastruktur vs Realitas Sosial
Program e-learning nasional seolah berjalan mulus. Tapi data dari KPAI dan LSM lokal menunjukkan:
- 1 dari 3 siswa di Indonesia Timur tak memiliki akses internet stabil
- Lebih dari 40% keluarga tidak punya lebih dari 1 perangkat digital
- Mayoritas rumah tangga berpenghasilan di bawah Rp2 juta/bulan mengalami kesulitan biaya kuota
E-learning akhirnya menjadi kemewahan baru, bukan hak yang bisa diakses semua orang.
Bukan Sekadar “Tidak Ada HP”
Ketimpangan digital bukan cuma soal kepemilikan alat. Ada lapisan-lapisan lain:
- Kebutuhan Kuota yang Mahal
Sekali Zoom bisa menghabiskan 1–2GB. Dalam sebulan, orang tua bisa habis ratusan ribu hanya untuk kuota belajar anaknya. - Orang Tua Tidak Melek Teknologi
Anak-anak dari keluarga pekerja kasar sering tak mendapat bantuan teknis dari orang tua mereka. - Kondisi Rumah yang Tidak Mendukung
Belajar butuh ruang, tapi bagaimana jika satu rumah terdiri dari satu ruangan saja?
E-Learning: Cocok untuk Siapa?
Lembaga swasta dan sekolah elit dengan cepat mengadopsi sistem hybrid dan LMS (Learning Management System) canggih. Mereka punya:
- Perangkat lengkap: laptop, tablet, Wi-Fi
- Lingkungan kondusif: rumah luas, ruang belajar sunyi
- Pendampingan: orang tua yang bisa mendampingi dan membimbing
Di sisi lain, anak-anak dari lapisan bawah tertinggal semakin jauh. Bahkan ketika kembali ke sekolah, mereka sudah kehilangan banyak fondasi—baik akademik maupun mental.
Ketimpangan yang Tidak Diakui
Pemerintah dan penyedia platform edukasi online sering membanggakan pencapaian angka dan statistik: “ribuan kelas online berjalan,” “juta-an pengguna LMS terdaftar”.
Tapi angka-angka itu tak mencerminkan kualitas akses atau keadilan distribusi. Narasi digitalisasi pendidikan justru menyembunyikan fakta bahwa e-learning hanya efektif untuk sebagian kecil siswa yang punya modal sosial dan ekonomi.
“Kalau anak kota bilang e-learning itu fleksibel, kami di desa cuma dengar kata ‘ketinggalan’.”
— Pak Ahmad, guru SD di NTT
Alternatif Harus Diperjuangkan
Digitalisasi pendidikan tidak harus dihentikan, tapi perlu disesuaikan dengan kenyataan sosial:
- Pusat layanan belajar komunitas offline
- Distribusi gawai dan kuota berbasis kebutuhan, bukan seremonial
- Konten pembelajaran yang bisa diakses tanpa internet real-time (radio, TV, atau PDF offline)
Penutup: Pendidikan untuk Siapa?
Jika pendidikan adalah hak, maka ia harus dirancang untuk yang paling rentan, bukan hanya untuk yang paling siap. Kelas online bisa menjadi solusi—tapi saat ini, ia lebih mirip topeng yang menutupi wajah asli ketimpangan.