Kekosongan Tradisi di Kota Beton

Dari Lumbung ke Lobi Apartemen

Dulu, di desa-desa yang kini perlahan menghilang, gotong royong adalah napas sehari-hari. Orang-orang bekerja sama membangun rumah, memperbaiki jalan, atau sekadar membersihkan lingkungan. Tidak ada kontrak tertulis. Yang ada adalah kesadaran bersama bahwa hidup berarti saling menjaga.

Kini, di tengah kota beton yang menjulang, nilai-nilai itu lenyap. Tak ada lagi lumbung padi, yang ada adalah ruang serbaguna apartemen yang lebih sering kosong. Tak ada lagi kerja bakti, yang ada hanya jasa cleaning service yang dibayar per jam.

Kota Penuh Pagar, Jiwa Penuh Ketakutan

Perumahan elite membangun pagar tinggi. Apartemen menambah lapisan keamanan. Di satu sisi, semua ini disebut “kenyamanan”. Tapi di sisi lain, semua orang hidup dalam ruang privat, tak mengenal tetangga, tak peduli pada sekitar.

Gotong royong bukan sekadar kegiatan fisik. Ia adalah jalinan emosi dan solidaritas. Saat kota memutus koneksi antarwarga demi “keamanan”, ia sebenarnya sedang merobohkan jembatan sosial. Semua orang jadi sibuk pada dirinya sendiri—kerja, Netflix, tidur.

Tradisi Dipertontonkan, Tapi Tak Dihidupi

Ironisnya, kota kerap mengklaim “melestarikan budaya” lewat festival tahunan, parade pakaian adat, atau pameran batik. Tapi itu hanya di panggung. Tradisi yang paling penting—yakni kebersamaan yang tumbuh dari interaksi sehari-hari—justru ditinggalkan.

Tidak ada ruang untuk saling menolong di kota yang menilai waktu dalam satuan “uang”. Tidak ada semangat gotong royong di tengah kejar tayang cicilan rumah dan rapat daring.

Siapa yang Dirugikan?

Ketika budaya gotong royong hilang, yang paling dirugikan adalah warga kecil. Tukang ojek, penjaga kos, pemulung—mereka yang dulu terbantu lewat jejaring informal desa, kini dibiarkan sendiri menghadapi kerasnya hidup urban.

Kota gagal membangun rasa “kita”. Yang tersisa hanyalah “aku”—aku dan properti, aku dan mobilku, aku dan tagihan bulanan.

Apa yang Bisa Diselamatkan?

Tak semua harus kembali ke desa. Tapi kota bisa memulihkan jiwa kolektifnya lewat langkah kecil:

  • Membuka ruang komunitas di luar pusat perbelanjaan
  • Mengaktifkan kembali kerja bakti skala mikro
  • Mendorong kolaborasi lintas kelas sosial di kampung kota
  • Mengurangi batas beton yang mengisolasi warga

Kota bukan musuh tradisi. Tapi tanpa upaya sadar, kota bisa menjadi kuburannya.

Penutup: Tradisi Tanpa Tanah, Solidaritas Tanpa Suara

Gotong royong tidak butuh dana CSR atau sponsor. Ia hanya butuh ruang dan kepercayaan. Tapi dalam kota yang penuh pagar, sensor, dan ketakutan, apa masih ada tempat untuk percaya pada orang lain?

Kita tidak hanya kehilangan tradisi, tapi kehilangan alasan untuk berkumpul.

Related Posts

Stimulus Natal: Janji Pemerintah, Harapan Masyarakat

Janji Pemerintah di Akhir Tahun Setiap menjelang Natal dan akhir tahun, pemerintah biasanya mengumumkan bantuan sosial atau stimulus: mulai dari uang tunai, paket sembako, hingga diskon tarif listrik atau transportasi…

Kota Tanpa Tradisi: Kehilangan Rasa Gotong Royong

Gotong Royong: Identitas yang Mulai Pudar Gotong royong bukan sekadar membantu tetangga membangun rumah atau membersihkan lingkungan. Ia adalah roh kebersamaan, sebuah nilai yang menegaskan bahwa manusia tidak bisa hidup…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You Missed

Stimulus Natal: Janji Pemerintah, Harapan Masyarakat

Stimulus Natal: Janji Pemerintah, Harapan Masyarakat

Jurnalisme Jalanan: Menguak Kisah dari Pinggiran Kota

Jurnalisme Jalanan: Menguak Kisah dari Pinggiran Kota

Film Tentang Kesepian di Kota Besar: Suara yang Terbungkam

Film Tentang Kesepian di Kota Besar: Suara yang Terbungkam

Kota Tanpa Tradisi: Kehilangan Rasa Gotong Royong

Kota Tanpa Tradisi: Kehilangan Rasa Gotong Royong

Seni Publik: Antara Dana Negara dan Kemandirian Kreatif

Seni Publik: Antara Dana Negara dan Kemandirian Kreatif

Serial TV yang Mengangkat Isu Sosial dan Perlawanan

Serial TV yang Mengangkat Isu Sosial dan Perlawanan