
Ironi di Jantung Kota: Membeli Air Seperti Bensin
Di balik hiruk-pikuk pembangunan dan pencitraan kota modern, ada cerita yang jarang muncul di baliho pemerintah: warga membayar mahal untuk air yang tak pernah benar-benar bersih.
Sebut saja kawasan Cibening Timur, pinggiran Bekasi yang masuk zona urban. Warga di sana harus mengandalkan truk tangki keliling, air galon isi ulang, dan sumur bor keruh bercampur pasir. Ironisnya, tagihan dari PDAM tetap datang—meski keran mereka nyaris tak pernah mengalir.
“Kalau cuma buat nyiram WC, kadang ngalir. Tapi buat masak? Tetap harus beli galon.”
— Ibu Ratmi, 47 tahun, warga RT 03
Bayar Dua Kali: Pajak dan Galon
Air bersih seharusnya hak dasar, bukan barang mewah. Tapi bagi warga kampung kota, air bersih adalah pengeluaran bulanan terbesar setelah beras dan listrik.
- Tagihan PDAM: Rp 80.000 – Rp 120.000 per bulan
- Air galon isi ulang: Rp 6.000 x 30 hari = Rp 180.000
- Biaya air tangki keliling: Rp 25.000 per 1.000 liter
Pengeluaran itu hanya untuk bertahan hidup, bukan hidup layak.
Janji Pemerintah: Antara Retorika dan Realita
Sejak tahun 2019, berbagai pemerintah daerah mengklaim komitmen “100% akses air bersih untuk warga perkotaan pada 2024.” Namun hingga pertengahan 2025, data menunjukkan lebih dari 23% wilayah urban Jabodetabek masih bergantung pada air non-perpipaan (Sumber: LSM UrbanWatch, 2025).
Yang lebih menyakitkan? Saat laporan infrastruktur menyebut proyek air telah rampung, kenyataan di lapangan menunjukkan jaringan tak aktif, pipa bocor, atau distribusi hanya malam hari.
Infrastruktur yang Tak Merata, Prioritas yang Tumpul
Mengapa kawasan padat miskin tak mendapat distribusi merata? Banyak faktor:
- Proyek Air Diarahkan ke Perumahan Baru
Developer punya jalur prioritas karena kerja sama langsung dengan penyedia air. - Warga Pinggir Kota Tak Dianggap Menguntungkan
Biaya instalasi dianggap tak balik modal cepat. - Korupsi Proyek Sumur dan Pipa
Pengadaan pipa murah dan sumur bor fiktif jadi isu tahunan yang tenggelam tanpa sanksi nyata.
“Kami selalu diukur dari untung-rugi, bukan dari kebutuhan hidup.”
— Pak Sanusi, Ketua RW di daerah Tegal Alur
Krisis Air, Krisis Martabat
Air bukan hanya soal mandi atau memasak. Ia menyangkut martabat.
Anak-anak yang harus berangkat sekolah tanpa mandi, ibu-ibu yang mencuci baju dengan air bercampur karat, dan lansia yang terpaksa minum air galon bekas masakan kemarin—semua adalah potret pengabaian struktural.
Dan ketika masalah ini dianggap “biasa saja” oleh mereka yang hidup di apartemen dengan water heater dan mesin penyaring air, maka kita memang sedang hidup di dua dunia yang tak saling menyentuh.
Penutup: Mencatat, Menuntut, dan Mengawasi
Janji air bersih bukan boleh, tapi wajib ditepati. Transparansi proyek air, audit distribusi, serta pelibatan warga sebagai pengawas lapangan harus menjadi norma, bukan permintaan khusus.
Kita tak butuh pembangunan yang megah jika dasar hidup seperti air saja tak bisa dijamin negara. Karena dari keran yang tak mengalir, kita melihat bukan hanya air yang hilang—tapi juga kepercayaan.