
Siapa yang Dianggap Pahlawan?
Setiap tahun, negara merayakan Hari Pahlawan. Nama-nama besar dibacakan, potret digantung di kantor-kantor pemerintahan, dan jargon “teladan bangsa” mengisi siaran televisi. Tapi bagaimana dengan mereka yang berjasa tanpa lencana, tanpa piagam, bahkan tanpa pengakuan legal?
Di trotoar, di lorong-lorong kota, di batas kamp pengungsian—terdapat ribuan cerita heroisme kecil yang tak pernah masuk arsip sejarah. Heroisme yang tidak diabadikan, tapi sangat dirasakan oleh mereka yang tertolong.
Pengojek: Navigasi Jalan dan Kesabaran Sosial
Di kota-kota besar, ojek online dan pangkalan bukan sekadar jasa transportasi. Mereka adalah penghubung ruang—baik secara harfiah maupun sosial. Saat pandemi menghantam dan orang-orang takut keluar rumah, para pengojek tetap beroperasi. Bukan karena ingin dianggap pahlawan, tapi karena butuh makan.
“Kadang saya antar obat, antar oksigen, antar orang sakit. Tapi nggak ada yang tahu. Saya juga takut. Tapi kalau saya nggak kerja, anak saya nggak makan.”
— Yusran, pengojek daring di Bekasi.
Dalam sistem sosial yang mengandalkan “on-demand”, para pengojek seringkali menjadi frontliner tak resmi. Mereka ada di garis depan saat darurat, tapi tak dapat perlindungan atau kompensasi yang setara.
Pengungsi: Bertahan Hidup, Bukan Jadi Beban
Pengungsi di Indonesia, baik yang dari luar negeri (seperti Rohingya, Afghanistan) maupun korban konflik internal (konflik agraria, bencana), hidup di ruang antara. Tidak diakui sebagai warga negara, tapi juga tidak diberi perlindungan penuh.
Namun, banyak dari mereka justru menjalankan peran sosial penting—mengajar sesama, menjadi penerjemah darurat, membangun dapur umum di pengungsian. Semua tanpa status resmi, tanpa perlindungan hukum.
“Saya bukan warga negara. Tapi saya manusia. Saya bantu karena saya tahu rasanya kelaparan.”
— Amina, pengungsi Rohingya, Makassar.
Petugas Tak Diakui: Relawan, Satgas, dan Petugas Lepas
Relawan bencana, satgas COVID lepas, hingga petugas PPSU yang bekerja membersihkan got dan limbah kota—mereka semua bekerja untuk publik. Tapi banyak dari mereka hanya dihargai sebatas kontrak, bahkan tidak memiliki jaminan kerja.
Saat kamera menyorot, mereka diundang. Tapi saat krisis berlalu, mereka dilupakan.
Heroisme Tak Butuh Seragam
Konsep pahlawan telah terlalu lama dibentuk lewat pengakuan negara, seragam resmi, dan narasi nasionalisme. Padahal, banyak tindakan heroik lahir justru karena negara absen. Orang-orang biasa menjadi luar biasa, bukan karena mereka diberi kuasa, tapi karena mereka memilih untuk peduli.
Mereka tidak mendapat pensiun kehormatan. Tidak diundang ke upacara istana. Tapi mereka tetap berdiri di garis depan hidup kita sehari-hari.
Penutup: Mengganti Lensa Pengakuan
Mungkin sudah waktunya kita mengubah cara melihat heroisme.
Bukan hanya soal siapa yang diperingati di buku pelajaran, tapi siapa yang membantu kita tanpa diminta, tanpa kamera, tanpa pangkat.
Karena seringkali, pahlawan sejati tidak tahu bahwa mereka pahlawan. Mereka hanya berbuat karena tak ada pilihan lain.