Birokrasi: Mesin Penghancur Akal Sehat

Birokrasi diciptakan untuk menertibkan sistem. Tapi dalam praktiknya, birokrasi sering kali berubah menjadi labirin tanpa ujung yang menguras logika dan energi. Prosedur yang kaku dan sistem yang terlalu berlapis bisa membuat keputusan yang seharusnya sederhana jadi rumit tak masuk akal.


1. Aturan Kaku yang Menumpulkan Nalar

Banyak birokrasi berjalan bukan berdasarkan kebutuhan atau urgensi, tapi semata-mata karena “sudah aturannya begitu.” Ketika akal sehat bertabrakan dengan sistem, sering kali sistemlah yang menang, meskipun hasilnya merugikan masyarakat. Ini menciptakan kultur patuh tanpa berpikir.


2. Terlalu Banyak Tangan, Tapi Tak Ada Tanggung Jawab

Dalam struktur birokrasi yang kompleks, tanggung jawab seringkali menguap. Ketika ada kesalahan, semuanya saling lempar tangan—tidak ada yang benar-benar bertanggung jawab. Sistem ini menyuburkan mentalitas kerja yang hanya mengejar aman, bukan hasil.


3. Inovasi Mati di Meja Pengajuan

Salah satu korban terbesar dari birokrasi adalah kreativitas. Ide-ide segar sering kali tertahan di meja-meja pengajuan, berlapis tanda tangan dan persetujuan yang tak kunjung selesai. Bukannya mendukung perubahan, birokrasi sering menjadi tembok tinggi yang menghalangi kemajuan.


4. Pelayanan Publik yang Jauh dari Kata “Melayani”

Ironisnya, birokrasi yang seharusnya melayani publik, sering kali justru membuat masyarakat frustrasi. Proses yang panjang, syarat yang berbelit, dan jawaban “silakan ke bagian lain” jadi pemandangan umum. Kecepatan dan efisiensi terkubur di balik form dan stempel.


5. Akal Sehat Tak Laku di Sistem yang Buta Prosedur

Di banyak kasus, logika sederhana tak lagi relevan di hadapan dokumen dan prosedur. Birokrasi menciptakan dunia yang berjalan atas dasar formalitas, bukan urgensi atau kemanusiaan. Saat itu terjadi, akal sehat jadi barang langka.


Penutup

Birokrasi bukan musuh, tapi tanpa pembaruan dan pemikiran kritis, ia bisa jadi penghancur akal sehat. Sudah waktunya sistem berubah dari sekadar mengatur menjadi benar-benar melayani. Karena pada akhirnya, negara ini dibangun untuk manusia, bukan kertas dan stempel.

  • Related Posts

    Data Pengguna Aplikasi: Hak Privasi yang Tergerus

    Privasi Digital: Komoditas yang Diperdagangkan Di era digital, data pribadi adalah emas baru. Namun, alih-alih dilindungi, data pengguna aplikasi justru sering menjadi komoditas dagangan. Dari aplikasi belanja, media sosial, hingga…

    E-Learning: Jembatan Pendidikan atau Kesenjangan Baru?

    E-Learning: Solusi Modern Pendidikan Kemajuan teknologi menghadirkan e-learning sebagai alternatif pendidikan. Dengan materi digital, ruang kelas virtual, hingga akses tak terbatas pada sumber belajar global, sistem ini dianggap mampu menjembatani…

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    You Missed

    Stimulus Natal: Janji Pemerintah, Harapan Masyarakat

    Stimulus Natal: Janji Pemerintah, Harapan Masyarakat

    Jurnalisme Jalanan: Menguak Kisah dari Pinggiran Kota

    Jurnalisme Jalanan: Menguak Kisah dari Pinggiran Kota

    Film Tentang Kesepian di Kota Besar: Suara yang Terbungkam

    Film Tentang Kesepian di Kota Besar: Suara yang Terbungkam

    Kota Tanpa Tradisi: Kehilangan Rasa Gotong Royong

    Kota Tanpa Tradisi: Kehilangan Rasa Gotong Royong

    Seni Publik: Antara Dana Negara dan Kemandirian Kreatif

    Seni Publik: Antara Dana Negara dan Kemandirian Kreatif

    Serial TV yang Mengangkat Isu Sosial dan Perlawanan

    Serial TV yang Mengangkat Isu Sosial dan Perlawanan