
Gotong Royong: Identitas yang Mulai Pudar
Gotong royong bukan sekadar membantu tetangga membangun rumah atau membersihkan lingkungan. Ia adalah roh kebersamaan, sebuah nilai yang menegaskan bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri.
Namun, di kota-kota besar, gotong royong kini lebih sering hanya terdengar dalam pidato seremonial. Kehidupan urban dengan ritme cepat, dinding-dinding beton, serta mobilitas tinggi perlahan mengikis rasa solidaritas itu.
Modernisasi dan Individualisme Kota
Kota adalah simbol modernisasi. Pekerjaan, hiburan, dan peluang lebih banyak ditemukan di pusat urban. Tetapi bersamaan dengan itu lahir pula individualisme yang kaku.
- Warga kota lebih sering sibuk dengan urusan pribadi.
- Lingkungan perumahan tertutup dengan pagar tinggi mengurangi interaksi antar tetangga.
- Budaya “waktu adalah uang” membuat orang enggan terlibat dalam kegiatan sosial yang dianggap tidak produktif secara ekonomi.
Di balik gemerlap lampu kota, yang tersisa adalah kesepian kolektif.
Gotong Royong yang Bergeser Bentuk
Bukan berarti nilai kebersamaan hilang sepenuhnya. Di kota, gotong royong bergeser ke bentuk baru: komunitas hobi, forum daring, hingga gerakan solidaritas digital.
Contoh nyata: penggalangan dana online untuk korban bencana atau kampanye sosial yang viral di media sosial. Namun, bentuk gotong royong ini sering bersifat sementara dan berjarak, berbeda dengan kedekatan fisik yang lahir dari interaksi sehari-hari di desa.
Konsekuensi Sosial Kota Tanpa Tradisi
Hilangnya rasa gotong royong berdampak serius pada kehidupan sosial perkotaan:
- Meningkatnya isolasi sosial – banyak orang hidup berdampingan, tetapi merasa sendirian.
- Rapuhnya solidaritas saat krisis – ketika bencana melanda, masyarakat kota sering menunggu bantuan formal ketimbang bergerak bersama.
- Lunturnya identitas kultural – kota menjadi ruang tanpa tradisi, hanya tersisa budaya konsumsi dan individualisme.
Membangun Kembali Rasa Kebersamaan
Meskipun tantangannya besar, membangun kembali semangat gotong royong di kota bukan hal mustahil. Beberapa langkah yang bisa dilakukan:
- Menghidupkan kembali kegiatan lingkungan seperti kerja bakti atau perayaan bersama.
- Membentuk komunitas kecil yang berbasis minat, tapi tetap punya nilai sosial.
- Mendorong pemerintah kota untuk memberi ruang publik yang memfasilitasi interaksi warga, bukan hanya ruang komersial.
Gotong royong tidak harus persis seperti dulu, tetapi nilai solidaritasnya harus dijaga agar kota tidak kehilangan “ruh” sosialnya.
Penutup
Kota tanpa tradisi adalah kota yang kehilangan jiwa. Ketika gotong royong memudar, yang tersisa hanyalah individu-individu yang sibuk mengejar kepentingannya sendiri.
Modernisasi seharusnya bukan alasan untuk melupakan akar kebersamaan. Justru di tengah kompleksitas kota besar, nilai gotong royong dibutuhkan lebih dari sebelumnya—agar kehidupan urban tidak hanya produktif, tetapi juga penuh rasa kemanusiaan.