
Sebuah Tiket Menuju Kota Harapan
Bagi banyak anak desa, Jakarta masih menjadi lambang kemajuan. Di balik sawah yang gersang, sekolah tanpa guru tetap, dan peluang kerja yang minim, kota itu tampak seperti pintu emas. Tiket bus malam menuju Ibu Kota bukan sekadar perjalanan—ia adalah pertaruhan nasib.
Namun, apa yang ditemukan di ujung jalan panjang itu seringkali jauh dari narasi “keberhasilan.”
Mimpi yang Bertabrakan dengan Kenyataan
Migrasi dari desa ke kota bukan fenomena baru. Tapi gelombang yang terjadi pascapandemi, terutama dari generasi muda desa, menyimpan cerita muram:
- Kerja serabutan dengan upah di bawah UMR
- Kehidupan kos sempit di gang sempit dan kumuh
- Akses terbatas terhadap pendidikan lanjutan dan layanan kesehatan
- Tinggal di pinggir kota dengan biaya hidup kota pusat
“Saya pikir kerja di Jakarta akan mengubah hidup. Tapi yang ada saya hanya berpindah dari satu kontrakan ke yang lebih sempit,” – Andri, 24, asal Grobogan.
Kelas Sosial dan “Tembok Tak Terlihat”
Meski tinggal di kota yang sama, realitas yang dihadapi anak desa berbeda drastis dengan anak kota.
- Mereka tak punya jejaring alumni sekolah ternama.
- Mereka tak punya modal keluarga untuk memulai usaha.
- Mereka tak menguasai kode-kode sosial kota: dari cara bicara, cara berpakaian, hingga cara melamar kerja.
Jakarta menjadi kota yang memfilter harapan berdasarkan latar belakang. Semakin jauh dari pusat kota dan pusat kekuasaan, semakin tipis peluangnya.
Jakarta Tidak Lagi Ramah untuk Pemula
Harga sewa kamar melonjak. Lapangan kerja formal makin sempit. Mobilitas naik turun status sosial jadi sulit ketika:
- Gaji tak sebanding dengan kebutuhan dasar.
- Transportasi publik tak menjangkau kawasan pekerja informal.
- Persaingan kerja butuh “pengalaman” yang tidak dimiliki pemula dari desa.
Sementara itu, kampanye-kampanye pembangunan kota lebih banyak menyentuh citra visual: gedung, taman, jembatan, bukan manusia-manusia yang menghidupi denyut kota di level akar.
Pulang Kampung atau Bertahan dalam Ilusi?
Beberapa yang lelah akhirnya kembali ke desa. Tapi banyak pula yang bertahan, menggantungkan harapan pada gaji UMR dan sesekali proyek freelance.
Namun, dilema utama bukan sekadar urbanisasi vs desa, tapi absennya kebijakan pemerataan:
- Pendidikan desa yang tak mengimbangi kebutuhan zaman
- Tidak adanya insentif reintegrasi untuk pemuda yang kembali
- Perkotaan yang tidak menyerap pekerja akar rumput dengan adil
Penutup: Kota Tanpa Harapan Adalah Kota yang Mati
Jakarta tak harus menjadi kota mimpi. Tapi ia juga tak boleh menjadi kota yang membunuh harapan. Jika pusat kota terus menyaring impian berdasarkan kode sosial dan warisan modal, maka ia akan jadi kota yang makin eksklusif, makin terputus dari realitas Indonesia yang sebenarnya.
Mungkin yang harus kita gugat bukan mimpinya, tapi sistem yang membuat mimpi anak desa terlalu mahal untuk diwujudkan.