
Kenapa Film Tentang Kelas Bawah Itu Penting?
Di tengah dominasi film komersial yang penuh cinta palsu, horor dadakan, dan glorifikasi gaya hidup menengah ke atas, muncul film-film indie yang justru menyuarakan suara-suara paling sunyi. Mereka mengangkat kehidupan kelas bawah bukan sebagai latar eksotik atau objek pelarian, tapi sebagai subjek perjuangan struktural.
Berikut ini tiga film indie Indonesia yang layak ditonton bukan karena “drama-nya”, tapi karena kedalaman gagasannya.
1. “Tante Rosa” – Sutradara: Ertanto Robby Soediskam
Film pendek ini seperti surat kemarahan yang ditulis dengan sunyi. Mengisahkan perempuan tua yang tinggal sendirian di pinggiran Jakarta, bergulat dengan tagihan, keterasingan, dan sistem birokrasi yang tak berpihak.
Apa yang menggugah?
- Naskahnya sederhana tapi penuh luka struktural: dari subsidi yang tak sampai, sampai listrik prabayar yang memutus hidup orang miskin tanpa ampun.
- Tidak ada melodrama. Hanya realita.
“Tante Rosa tidak butuh dikasihani. Ia butuh sistem yang bekerja.”
2. “Semalam Anak Kita Pulang” – Sutradara: Adriyanto Dewo
Film ini seperti napas panjang tentang keluarga buruh yang harus kehilangan anaknya karena konflik agraria. Berlatar desa yang terus ditekan proyek industri, film ini membongkar relasi kekuasaan, tanah, dan keputusasaan.
Kenapa penting?
- Berbicara soal “kelas” bukan hanya ekonomi, tapi relasi kuasa antara warga dan negara.
- Sinematografi yang lambat dan gelap mendukung suasana tercekik yang dialami karakter.
Catatan: Film ini nyaris tidak pernah tayang di festival arus utama. Tapi justru itu yang membuatnya jujur.
3. “Langit Masih Biru” – Kolektif Sinema Marjinal Jogja
Diproduksi secara kolektif oleh sineas muda kampung, film ini mengeksplorasi kehidupan para pemulung dan anak-anak jalanan di Yogyakarta. Dialog natural, gambar handheld, dan akting non-aktor justru menambah autentisitas cerita.
Yang bikin beda:
- Ini bukan film “tentang” kaum marjinal, tapi film oleh dan untuk mereka.
- Banyak adegan yang diambil langsung di TPA dan trotoar tempat mereka hidup sehari-hari.
Film ini bukan hanya tontonan, tapi testimoni hidup.
Film Minor, Tapi Suara Mayor
Ketiga film ini mungkin tidak masuk Netflix, tidak diputar di XXI, dan tidak trending di TikTok. Tapi ketiganya menghadirkan wacana alternatif tentang siapa yang layak diceritakan. Mereka bukan korban, bukan tokoh tambahan, tapi pusat dari narasi yang terlalu lama diabaikan.
Menonton mereka bukan sekadar konsumsi visual—tapi juga tindakan politik kecil dalam membongkar ilusi layar.
Penutup
Jika film besar seringkali bicara soal harapan palsu, maka film minor ini bicara soal realita mentah. Mereka menggugah bukan karena sedih, tapi karena membuat kita gelisah dan bertanya: kenapa kita masih diam?