Panggung, Baliho, dan Kamera: Siapa yang Jadi Aktor?
Di berbagai kota, kita melihat pola yang berulang: setiap kali proyek pemerintah selesai, entah itu jembatan, taman, gedung olahraga, atau mal pelayanan publik—maka muncullah panggung besar, karpet merah, dan undangan khusus.
Acara peresmian pun diadakan:
- MC profesional dan penyanyi lokal
- Siaran langsung media sosial
- Gimmick pemotongan pita atau pemukulan gong
- Parade sekolah dan UMKM binaan
Tapi di balik itu semua, pertanyaan yang lebih penting sering tak dibicarakan:
Apakah proyek ini benar-benar dibutuhkan?
Siapa yang merancangnya?
Bagaimana proses anggarannya?
Apakah ada evaluasi dampaknya?
Proyek Mercusuar: Gagah di Brosur, Sepi di Lapangan
Istilah proyek mercusuar merujuk pada infrastruktur yang lebih bertujuan pamer dibanding fungsi. Ia sering muncul menjelang tahun politik, menyerap dana besar, tapi miskin urgensi.
Contohnya:
- Gedung budaya megah di daerah yang tak punya komunitas seni aktif
- Monumen pembangunan di kabupaten miskin air bersih
- Skybridge mahal tapi tidak terkoneksi dengan sistem transportasi
Hasilnya: bangunan megah, tapi kosong. Estetis, tapi tidak berfungsi.
Uang Publik: Bukan Uang Pemilik Kekuasaan
Setiap baliho peresmian dengan wajah pejabat seharusnya dibaca sebagai iklan yang dibayar dari kantong rakyat.
Namun dalam praktiknya:
- Anggaran seremonial bisa mencapai ratusan juta
- Biaya publikasi dan pencitraan lebih besar dari biaya pemeliharaan proyek
- Anggaran hiburan kadang lebih tinggi dari pelatihan operator fasilitas itu sendiri
“Kami punya gedung serbaguna baru, tapi listriknya nggak pernah nyala karena biaya operasional tak disiapkan,” ujar Sri, warga Luwu Timur.
Pameran Pembangunan: Narasi Satu Arah
Setiap tahun, banyak pemerintah daerah mengadakan “Pameran Pembangunan”, lengkap dengan booth instansi, spanduk pencapaian, dan penampilan seni. Tapi ruang ini jarang memberi tempat bagi kritik atau partisipasi warga.
- Tidak ada sesi “adu gagasan”
- Tidak ada laporan transparansi anggaran
- Tidak ada evaluasi bersama dari proyek-proyek sebelumnya
Ini menciptakan narasi tunggal: pembangunan sebagai prestasi, bukan sebagai proses yang bisa (dan harus) dikritik.
Di Mana Akuntabilitas?
Proyek publik semestinya memuat tiga hal penting:
- Transparansi – warga tahu dana dari mana dan untuk apa
- Partisipasi – warga dilibatkan sejak perencanaan, bukan hanya disuguhi seremoni
- Evaluasi – proyek bisa diaudit manfaatnya, bukan hanya dampak visualnya
Tanpa itu, kita hanya melihat pembangunan dari sisi permukaannya—karena intinya sudah dikubur oleh gimmick.
Penutup: Panggung Habis, Debu Tersisa
Setelah panggung dibongkar, baliho diturunkan, dan wartawan pulang, siapa yang tinggal?
Jawabannya: rakyat.
Yang harus menggunakan proyek itu, merawat fasilitas itu, atau kadang hanya bisa memandang bangunan kosong itu dari luar pagar.
Pembangunan sejati tak butuh panggung. Ia butuh kejujuran, kebutuhan nyata, dan keberlanjutan.
Karena uang publik bukan untuk pertunjukan. Tapi untuk kehidupan.





