Sopan Santun Itu Alat Cuci Otak

Sopan santun sering dipuja sebagai fondasi masyarakat yang beradab. Namun, tak jarang justru digunakan sebagai alat untuk membungkam kejujuran, membonsai keberanian, dan memoles kemunafikan. Saat “jangan membantah orang tua”, “jangan menyela atasan”, atau “diam itu emas” menjadi norma yang tak boleh dilanggar, kita patut bertanya: sopan santun ini menjaga moral atau sekadar menjadi alat cuci otak?

1. Sopan Santun sebagai Pengendali Narasi

Sejak kecil kita diajarkan bahwa bersuara keras itu kurang ajar, bertanya terlalu banyak dianggap tidak sopan, dan menyanggah orang tua atau guru adalah tabu. Sopan santun menjadi tameng yang mengatur siapa boleh bicara dan siapa tidak. Ini bukan sekadar etika, tapi bentuk pengendalian.

Alih-alih mendorong anak berpikir kritis, sopan santun sering kali justru menekan mereka untuk patuh tanpa tanya. Dalam konteks ini, sopan santun bertransformasi menjadi alat pembentukan pola pikir tunduk, bahkan saat yang dihadapi adalah ketidakadilan.

2. Diam adalah Emas, Tapi Bukan untuk Semua

Ungkapan “diam adalah emas” sering dikutip saat seseorang mencoba menyuarakan pendapat yang tidak populer atau menyanggah sesuatu yang keliru. Budaya sopan santun yang kaku menjadikan diam sebagai bentuk kehormatan, meski kadang itu berarti membiarkan ketidakbenaran berlangsung.

Orang yang menyuarakan kegelisahan dianggap tidak tahu tempat. Yang bersuara lantang disamakan dengan pemberontak. Padahal, banyak perubahan besar justru lahir dari mereka yang berani “tidak sopan” terhadap sistem.

3. Sopan Bukan Berarti Tunduk

Tentu saja, sopan santun tidak sepenuhnya buruk. Ia punya tempatnya—dalam interaksi sehari-hari, ia bisa menjadi perekat sosial. Namun, ketika sopan santun dijadikan alat sensor terhadap ekspresi dan kebenaran, ia berhenti menjadi nilai dan berubah jadi belenggu.

Ada kalanya sopan santun lebih merusak daripada membangun. Apalagi jika yang diminta bukan sekadar bersikap santun, tapi mematikan pikiran kritis demi kenyamanan status quo.


Kesimpulan

Sopan santun bisa menjadi nilai luhur—asal tidak dipakai untuk menutupi luka sosial atau menekan keberanian untuk bersuara. Saat sopan santun dijadikan tameng ketakutan dan kemunafikan, maka ia bukan lagi etika, tapi alat cuci otak. Mari ajarkan keberanian yang beretika, bukan kepatuhan yang bisu.

Related Posts

Seni Publik: Antara Dana Negara dan Kemandirian Kreatif

Seni Publik dan Politik Representasi Seni publik—patung di taman kota, mural di dinding, instalasi di jalanan—selalu lebih dari sekadar estetika. Ia adalah simbol representasi: siapa yang berhak bersuara, nilai apa…

Pahlawan Tanpa Nama: Cerita Para Pejuang Jalanan

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita sibuk dengan rutinitas hingga lupa bahwa di sekitar kita ada pahlawan tanpa nama—orang-orang yang bekerja keras di jalanan untuk bertahan hidup dan menghidupi keluarganya.…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You Missed

Stimulus Natal: Janji Pemerintah, Harapan Masyarakat

Stimulus Natal: Janji Pemerintah, Harapan Masyarakat

Jurnalisme Jalanan: Menguak Kisah dari Pinggiran Kota

Jurnalisme Jalanan: Menguak Kisah dari Pinggiran Kota

Film Tentang Kesepian di Kota Besar: Suara yang Terbungkam

Film Tentang Kesepian di Kota Besar: Suara yang Terbungkam

Kota Tanpa Tradisi: Kehilangan Rasa Gotong Royong

Kota Tanpa Tradisi: Kehilangan Rasa Gotong Royong

Seni Publik: Antara Dana Negara dan Kemandirian Kreatif

Seni Publik: Antara Dana Negara dan Kemandirian Kreatif

Serial TV yang Mengangkat Isu Sosial dan Perlawanan

Serial TV yang Mengangkat Isu Sosial dan Perlawanan