Ketika Internet Menjadi Hak yang Tak Merata
Di kota besar, koneksi internet cepat sering dianggap sesuatu yang wajar, bahkan menjadi kebutuhan pokok sehari-hari. Namun, di banyak daerah terpencil, sinyal masih menjadi barang langka. Tidak ada menara pemancar, infrastruktur minim, dan biaya perangkat sering kali terlalu mahal bagi masyarakat lokal.
Akibatnya, lahirlah jurang digital antara mereka yang terkoneksi dan yang tertinggal.
Pendidikan yang Terhambat
Salah satu dampak paling nyata dari sinyal mati adalah di dunia pendidikan. Saat pandemi, banyak anak di desa tidak bisa mengikuti sekolah daring karena keterbatasan jaringan. Mereka harus berjalan jauh ke bukit atau mencari titik tertentu hanya untuk mengirim tugas.
Ketimpangan ini menunjukkan bahwa tanpa internet, anak-anak di daerah terpencil tidak punya akses yang sama terhadap ilmu pengetahuan. Mereka ketinggalan materi, kehilangan kesempatan belajar, dan makin jauh dari cita-cita.
Informasi Publik yang Tak Sampai
Selain pendidikan, masalah besar lainnya adalah akses informasi publik. Masyarakat di daerah tanpa internet sulit mengetahui program pemerintah, peluang kerja, bahkan informasi dasar tentang kesehatan dan bencana.
Di era di mana informasi bisa menyelamatkan nyawa, ketiadaan akses digital sama saja dengan isolasi sosial.
Ekonomi Digital yang Tak Terjangkau
Banyak wacana soal ekonomi digital, UMKM go online, dan peluang bisnis berbasis teknologi. Namun, semua itu terdengar asing di telinga masyarakat terpencil. Tanpa sinyal, mereka hanya bisa menjadi penonton, sementara kota besar berlari dengan e-commerce, fintech, dan layanan daring.
Ketimpangan ini memperlebar jurang antara pusat dan pinggiran.
Pertanyaan tentang Keadilan
Jika internet kini dianggap sebagai bagian dari hak dasar manusia—layaknya listrik atau air bersih—maka ketimpangan digital harus dipandang sebagai isu keadilan sosial. Infrastruktur teknologi seharusnya tidak hanya dibangun di tempat yang “menguntungkan secara ekonomi”, tetapi juga di wilayah yang paling membutuhkan dukungan.
Tanpa itu, mimpi pemerataan pembangunan hanya akan menjadi slogan kosong.
Penutup
“Sinyal mati” di daerah terpencil bukan sekadar masalah teknis, tetapi simbol ketidakadilan struktural. Selama akses internet hanya dinikmati sebagian masyarakat, kesenjangan dalam pendidikan, informasi, dan ekonomi akan terus melebar. Pertanyaannya: kapan hak digital benar-benar merata untuk semua orang, dari kota hingga pelosok negeri?






