Ruang Publik: Milik Siapa Sebenarnya?
Debat publik di media—baik televisi, radio, maupun platform digital—sering kali dikuasai oleh elit politik, akademisi, dan komentator profesional. Mereka membicarakan isu besar, membuat analisis mendalam, dan mengekspresikan opini dengan bahasa yang formal.
Sementara itu, suara rakyat biasa—pedagang kecil, pekerja harian, buruh, atau ibu rumah tangga—jarang masuk ke layar media. Pendapat mereka hanya muncul sesekali sebagai kutipan singkat atau opini anonim, tanpa ruang yang memadai untuk didengar secara penuh.
Kesenjangan Bahasa dan Akses
Bukan hanya soal kepemilikan mikrofon atau slot tayang di media. Masalah lain adalah bahasa dan format debat:
- Terminologi akademik atau politik sulit dipahami warga biasa.
- Format debat formal memberi keuntungan bagi mereka yang terbiasa berbicara di ruang publik.
- Media sosial menawarkan ruang, tapi seringkali dikuasai algoritma dan kampanye terorganisir, bukan aspirasi alami warga.
Konsekuensi Sosial dan Politik
Kesenjangan ini menghasilkan beberapa dampak nyata:
- Kebijakan yang Kurang Relevan
Keputusan dan undang-undang sering disusun berdasarkan opini elit, bukan pengalaman langsung masyarakat. - Perasaan Tersingkirkan
Rakyat biasa merasa tidak didengar, yang bisa menimbulkan apatisme politik atau ketidakpercayaan terhadap institusi. - Distorsi Narasi Publik
Media dan debat publik sering menekankan isu “besar” yang populer di kalangan elite, sementara masalah sehari-hari rakyat—harga kebutuhan pokok, transportasi, pendidikan—terabaikan.
Upaya Menjembatani Kesenjangan
Beberapa langkah bisa dilakukan untuk memperkecil jurang suara antara elit dan rakyat:
- Forum konsultasi lokal yang terhubung dengan media nasional.
- Penguatan partisipasi digital melalui platform resmi yang menampung aspirasi masyarakat.
- Pelatihan literasi media bagi warga biasa agar mereka bisa menyuarakan pendapat dengan efektif.
- Kolaborasi jurnalis dan komunitas untuk mengangkat isu lokal ke ranah nasional.
Penutup: Media Sebagai Ruang Bersama
Idealnya, debat publik bukan hanya panggung bagi elit, tetapi ruang kolaborasi antara pengambil keputusan dan masyarakat biasa. Ketika aspirasi rakyat terdengar, kebijakan akan lebih relevan, dan demokrasi tidak sekadar simbol, tapi nyata terasa dalam kehidupan sehari-hari.







