Dana Publik dan Proyek Gagal: Siapa yang Bertanggungjawab?

Ketika Dana Publik Jadi Korban

Dana publik yang dihimpun melalui pajak rakyat seharusnya kembali dalam bentuk pembangunan yang bermanfaat. Namun, kenyataan di lapangan sering kali berbeda. Banyak proyek pemerintah terbengkalai, molor bertahun-tahun, atau bahkan gagal total, tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas.

Mulai dari jalan raya yang tidak pernah selesai, gedung sekolah yang roboh sebelum dipakai, hingga jembatan yang runtuh setelah diresmikan—semuanya menjadi ironi.

Proyek Mangkrak: Pola yang Berulang

Kasus proyek gagal bukan hal baru. Hampir setiap tahun ada laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyoroti penggunaan anggaran tidak efektif. Pola yang muncul berulang:

  • Perencanaan asal-asalan tanpa studi kelayakan matang.
  • Pengadaan barang dan jasa bermasalah karena praktik korupsi.
  • Kualitas pengerjaan rendah akibat pemotongan anggaran oleh kontraktor.
  • Kurangnya pengawasan dari pejabat terkait.

Hasilnya, proyek tidak selesai tepat waktu atau tidak bisa digunakan sesuai fungsinya.

Siapa yang Dirugikan?

Yang paling dirugikan tentu rakyat. Dana publik yang semestinya untuk kesejahteraan bersama hilang begitu saja. Infrastruktur yang gagal membatasi akses masyarakat terhadap pendidikan, kesehatan, dan perekonomian.

Sementara itu, para pejabat dan kontraktor kerap lolos dari jeratan hukum, atau jika pun ada kasus hukum, prosesnya berlarut-larut hingga dilupakan publik.

Pertanggungjawaban yang Menguap

Pertanyaan besar muncul: siapa yang harus bertanggung jawab?
Secara hukum, pejabat pembuat kebijakan, pengawas proyek, dan kontraktor seharusnya bisa dimintai pertanggungjawaban. Namun, sering kali mereka saling lempar kesalahan, dan publik hanya bisa melihat proyek mangkrak sebagai monumen kegagalan.

Tanpa sistem yang transparan, dana publik rawan diperlakukan sebagai bancakan politik.

Reformasi yang Mendesak

Untuk mencegah berulangnya proyek gagal, ada beberapa langkah mendesak:

  1. Transparansi penuh dalam perencanaan dan realisasi anggaran.
  2. Audit independen yang melibatkan publik, bukan hanya lembaga negara.
  3. Sanksi tegas bagi pejabat maupun kontraktor yang lalai.
  4. Pelibatan masyarakat lokal agar mereka bisa ikut mengawasi jalannya proyek.

Penutup

Proyek yang gagal bukan sekadar soal beton, baja, atau gedung yang mangkrak. Ia adalah simbol dari lemahnya akuntabilitas dalam tata kelola negara. Dana publik yang seharusnya membangun, malah hilang tanpa hasil nyata.

Jika tidak ada mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, maka rakyat akan terus membayar mahal untuk pembangunan yang tak pernah selesai. Pertanyaannya: sampai kapan kegagalan ini dibiarkan tanpa ada yang benar-benar bertanggung jawab?

Related Posts

Stimulus Natal: Janji Pemerintah, Harapan Masyarakat

Janji Pemerintah di Akhir Tahun Setiap menjelang Natal dan akhir tahun, pemerintah biasanya mengumumkan bantuan sosial atau stimulus: mulai dari uang tunai, paket sembako, hingga diskon tarif listrik atau transportasi…

Kota Tanpa Tradisi: Kehilangan Rasa Gotong Royong

Gotong Royong: Identitas yang Mulai Pudar Gotong royong bukan sekadar membantu tetangga membangun rumah atau membersihkan lingkungan. Ia adalah roh kebersamaan, sebuah nilai yang menegaskan bahwa manusia tidak bisa hidup…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You Missed

Stimulus Natal: Janji Pemerintah, Harapan Masyarakat

Stimulus Natal: Janji Pemerintah, Harapan Masyarakat

Jurnalisme Jalanan: Menguak Kisah dari Pinggiran Kota

Jurnalisme Jalanan: Menguak Kisah dari Pinggiran Kota

Film Tentang Kesepian di Kota Besar: Suara yang Terbungkam

Film Tentang Kesepian di Kota Besar: Suara yang Terbungkam

Kota Tanpa Tradisi: Kehilangan Rasa Gotong Royong

Kota Tanpa Tradisi: Kehilangan Rasa Gotong Royong

Seni Publik: Antara Dana Negara dan Kemandirian Kreatif

Seni Publik: Antara Dana Negara dan Kemandirian Kreatif

Serial TV yang Mengangkat Isu Sosial dan Perlawanan

Serial TV yang Mengangkat Isu Sosial dan Perlawanan