
Di tengah hiruk pikuk kota, kita sering kali melewati mereka tanpa benar-benar memperhatikan. Tukang becak, dengan wajah lelah dan pakaian lusuh, duduk menunggu penumpang di sudut-sudut jalan. Banyak orang menganggap mereka hanya pelengkap pemandangan urban yang usang. Tapi di balik itu, mereka menyimpan kisah yang jauh lebih rumit dan emosional daripada alur sinetron yang kita tonton setiap malam.
Hidup yang Tidak Ditulis Skenario
Berbeda dengan sinetron yang punya naskah, tokoh jahat yang jelas, dan akhir bahagia, hidup para tukang becak berjalan dalam ketidakpastian. Mereka bangun pagi buta, menjemput harapan di jalanan, dan kembali pulang tanpa tahu apakah dapur bisa mengepul. Setiap hari adalah perjuangan. Tapi dari sana, kita bisa belajar makna sabar, ikhlas, dan kerja keras.
Dari Pengemudi Jadi Pendengar
Tukang becak sering kali menjadi saksi bisu percakapan para penumpangnya: ibu yang khawatir tentang anaknya, pedagang yang berbagi strategi dagang, atau anak sekolah yang gelisah tentang masa depannya. Mereka mendengar semua, menanggapi dengan senyum, tanpa interupsi. Mereka tak hanya pengemudi, tapi juga pendengar terbaik yang tak dibayar untuk memahami.
Cerita Tentang Kota, Tentang Kita
Becak mungkin lambat dan mulai tergantikan oleh transportasi modern, tapi mereka menyimpan jejak kota. Mereka tahu jalan pintas, perubahan suasana kampung, hingga siapa yang pindah atau meninggal minggu lalu. Mereka adalah arsip hidup dari tempat-tempat yang tak sempat masuk berita.
Keteguhan yang Tak Terekam Kamera
Tak ada kru produksi, tak ada sorotan kamera. Tapi keteguhan hati mereka untuk terus menarik becak meski usia tak muda lagi adalah potret nyata dari drama kehidupan. Mungkin kita terlalu sering mengidolakan tokoh sinetron, tapi melupakan tokoh-tokoh nyata seperti mereka.