Ilusi Kemudahan yang Penuh Perangkap
Online Travel Agent (OTA) menjanjikan kemudahan: satu klik untuk membandingkan harga hotel, membaca ulasan, dan memesan tiket perjalanan. Tapi di balik antarmuka yang ramah dan promo diskon menggoda, ada sistem yang tak selalu berpihak pada keadilan ekonomi—baik untuk pelanggan maupun penyedia jasa lokal.
Manipulasi Harga: “Diskon” yang Dibuat-Buat
Salah satu trik paling umum di OTA adalah skema “harga diskon palsu”. Harga awal dinaikkan secara artifisial, lalu diberikan potongan besar agar tampak menggiurkan.
Contoh praktik manipulatif:
- Hotel A diiklankan dengan harga Rp1.000.000 → didiskon 50% → jadi Rp500.000
- Padahal harga asli hotel itu memang Rp500.000—tidak pernah mencapai satu juta.
Hasilnya? Pengguna merasa untung, padahal hanya terjebak dalam ilusi potongan harga.
Lebih buruk lagi, sistem ini juga menekan pelaku hotel untuk menurunkan harga real demi bisa “naik ke halaman depan” aplikasi.
Rating Palsu & Ulasan Berbayar
Platform OTA sangat mengandalkan rating dan ulasan dari pelanggan. Tapi sistem ini rawan dimanipulasi.
Praktik yang terjadi di lapangan:
- Ulasan positif berbayar dari akun palsu
- Rating tinggi dipertahankan dengan menghapus review buruk
- Tukar review antar pelaku bisnis untuk saling bantu tampil bagus
Sementara hotel kecil dan jujur yang menolak bermain curang tertinggal dalam algoritma, membuatnya sulit ditemukan pengguna.
Komisi Eksploitatif: Pelaku Lokal Terjepit
Mayoritas OTA mengenakan komisi 15-25% untuk setiap pemesanan yang terjadi lewat platform mereka. Ini memukul keras hotel kecil, penginapan rumahan (homestay), atau operator tur mandiri.
“Dari harga Rp400.000, kami hanya terima sekitar Rp300.000. Tapi kalau naikin harga, pelanggan kabur ke kompetitor. Semua serba salah,” ujar Darto, pengelola penginapan di Banyuwangi.
Beberapa OTA bahkan mewajibkan harga paling rendah hanya boleh tersedia di platform mereka—larangan yang menjebak mitra dalam kontrak tak seimbang.
Dominasi Platform, Matinya Negosiasi Personal
Dulu, wisatawan bisa negosiasi langsung dengan pemilik penginapan, terutama di kota kecil. Kini, semuanya dibajak oleh sistem algoritma, penilaian sepihak, dan perang iklan.
Hubungan manusiawi dalam industri pariwisata tergantikan dengan sistem:
- chatbot,
- skor algoritmik,
- dan perang keyword.
Yang rugi? Bukan hanya pelaku usaha kecil, tapi juga pengalaman perjalanan yang makin artifisial.
Apakah Ada Jalan Keluar?
Sebagian pelaku mulai melawan dominasi OTA dengan cara:
- Kampanye pemesanan langsung melalui media sosial
- Menyediakan bonus untuk tamu yang booking langsung
- Membentuk konsorsium lokal sebagai alternatif pemesanan
Namun, kekuatan modal dan iklan OTA raksasa membuat perlawanan ini sulit menembus pasar yang sudah didominasi narasi “diskon, rating, dan ranking.”
Penutup: Waspada di Tengah Kemudahan
Kemudahan yang diberikan OTA bukan tanpa konsekuensi. Ketika kita menikmati harga murah dan kemudahan pencarian, ada realitas ekonomi yang tidak adil di balik layar.
Sudah waktunya sebagai konsumen untuk lebih kritis:
- Cek ulang harga langsung ke penyedia jasa
- Jangan percaya rating mentah-mentah
- Dukung usaha kecil lewat pemesanan langsung
Karena memilih tempat menginap bukan hanya soal harga—tapi juga soal siapa yang kita dukung dalam ekosistem ekonomi digital.







