
Di lorong kota, di tembok yang terkelupas, di bawah jembatan, atau di dinding WC umum, sering kali kita menemukan coretan—puisi, prosa, slogan, atau kalimat patah hati. Bagi sebagian orang, itu cuma vandalisme. Tapi bagi yang jeli, itu adalah bentuk paling jujur dari sastra: sastra jalanan.
Lebih Dekat dengan Realitas
Sastra jalanan tidak disaring oleh penerbit atau editor. Ia hadir langsung dari pikiran dan perasaan seseorang yang hidup dalam dunia nyata—keras, panas, dan kadang tak adil. Kata-kata mereka bukan hasil retorika puitis, melainkan jeritan atau bisikan yang dituliskan dalam keadaan terdesak, marah, patah, atau sekadar ingin didengar.
Berbeda dengan buku best seller yang sering kali sudah dipoles untuk pasar, sastra jalanan adalah suara mentah yang tidak takut untuk jujur, bahkan kasar.
Tidak Dijual, Tapi Dirasakan
Buku best seller dijual di toko buku, dengan cover menarik dan blurb menggiurkan. Sastra jalanan? Ia tak bisa dibeli. Ia ditemukan—di pojokan halte, di belakang truk, atau di tembok kampus. Dan ketika kamu membacanya, kamu tak bisa berhenti. Bukan karena bahasanya sempurna, tapi karena pesannya menampar.
“Negara ini terlalu ramai untuk rakyat yang sunyi,”
“Anak-anak kota tidak butuh mainan mahal, tapi ruang bermain yang aman.”
Kalimat-kalimat semacam ini hidup karena nyata.
Kebebasan Ekspresi Tanpa Sensor
Sastra jalanan tidak tunduk pada sensor atau standar industri. Ia menyuarakan kemarahan terhadap sistem, kritik sosial, cinta yang tak terbalas, bahkan iman yang goyah. Semua tumpah begitu saja, dan justru di situ nyawanya.
Sastra yang Berjalan
Kadang sastra jalanan hidup di punggung jaket anak punk, di selebaran demonstrasi, atau di mural jalanan. Ia bukan hanya dibaca, tapi dibawa. Ia tidak duduk di rak buku, tapi berjalan bersama massa yang protes atau duduk bersama orang yang sedang patah hati di trotoar.
Penutup
Sastra jalanan mungkin tidak pernah memenangkan penghargaan. Tapi ia memenangkan sesuatu yang lebih penting: nyawa dan perhatian dari mereka yang hidup di bawah garis media, politik, dan literatur arus utama. Di tengah dunia yang penuh sensor dan marketing, sastra jalanan tetap berdiri dengan kejujurannya.