Seringkali kita berbicara tentang “pinggiran” dengan nada iba—seolah-olah mereka adalah objek belas kasihan. Padahal, yang paling dibutuhkan bukanlah simpati kosong, melainkan kesediaan untuk mendengarkan: suara mereka, cerita mereka, dan realitas yang mereka hadapi setiap hari.
Mereka bukan statistik. Mereka adalah manusia dengan martabat, ide, dan mimpi—yang sering terabaikan hanya karena alamat mereka tak masuk peta utama kekuasaan dan perhatian.
🔍 Apa yang Dimaksud dengan ‘Pinggiran’?
“Pinggiran” bukan hanya soal wilayah geografis atau ekonomi. Ia bisa berarti:
- Komunitas yang hidup di luar pusat kota
- Kelompok sosial minoritas
- Orang-orang yang dilabeli “tidak penting” oleh sistem
- Pekerja informal yang tak punya suara di meja rapat
- Anak muda yang tak diakomodasi oleh kebijakan
❌ Kasihan Tak Cukup
Memberi donasi sesekali mungkin membantu. Tapi lebih dari itu, kasihan seringkali bersifat sepihak dan tak memberdayakan. Ia menempatkan seseorang di posisi rendah, alih-alih sejajar.
Yang dibutuhkan masyarakat pinggiran adalah:
- Ruang untuk bersuara
- Kebijakan yang adil
- Keterlibatan yang sejati
- Dialog, bukan monolog
🗣️ Didengar Bukan Sekadar Didiamkan
Mendengarkan berarti:
- Tidak menginterupsi pengalaman mereka dengan asumsi kita
- Tidak memaksakan solusi yang tidak mereka minta
- Tidak memonopoli narasi “apa yang terbaik bagi mereka”
Mendengarkan berarti memberi tempat bagi cerita mereka tumbuh, bergaung, dan akhirnya—mengubah arah kebijakan dan kesadaran kolektif.
💡 Apa yang Bisa Kita Lakukan?
- Buka ruang dialog, bukan hanya seminar atau konferensi top-down
- Libatkan komunitas dalam proses pengambilan keputusan
- Berikan panggung untuk suara yang jarang terdengar
- Ubah cara media menceritakan pinggiran—bukan sebagai korban, tapi sebagai pelaku perubahan
- Periksa bias diri sendiri, agar tak merasa lebih tahu dari mereka yang kita bantu
✅ Kesimpulan
Pinggiran tak perlu dilihat dari balik jendela mobil dan disapa hanya saat kampanye. Mereka butuh kehadiran nyata, telinga terbuka, dan pengakuan atas martabatnya sebagai manusia yang setara.
“Mereka tidak diam karena tak punya cerita. Mereka diam karena terlalu sering tidak didengarkan.”