Sejak kecil, kita diajari untuk mencintai dan bangga terhadap banyak hal: bendera, tanah kelahiran, sejarah, bahkan narasi-narasi kemenangan yang diwariskan begitu saja. Tapi jarang sekali kita diajak untuk bertanya: apa yang sebenarnya kita banggakan? Apakah kebanggaan itu lahir dari pemahaman, atau hanya kebiasaan mengulang?
Bangga itu sah. Tapi bangga yang tidak pernah digugat bisa jadi berubah menjadi fanatisme kosong. Kita disuruh menghafal tanggal, nama, dan semboyan, tapi tidak diberi ruang untuk menggali makna di baliknya. Saat ada yang bertanya atau menggugat narasi yang dianggap “kebanggaan bersama”, mereka sering dicap sebagai pembangkang.
Padahal, justru dari pertanyaan-pertanyaan kritis itulah tumbuh pemahaman yang lebih dalam. Cinta yang benar bukanlah cinta yang buta, melainkan yang berani bertanya, mengkritik, lalu memperbaiki. Kebanggaan sejati bukan menolak kritik, tapi menyambutnya sebagai tanda ingin tumbuh.
Di zaman informasi terbuka ini, sudah saatnya kita mulai memeriksa ulang apa yang dulu kita anggap mutlak. Apakah benar semuanya pantas dibanggakan? Apakah sejarah hanya milik pemenang? Apakah kita bangga karena tahu, atau karena takut malu jika tidak ikut?
Mungkin sudah waktunya kita bertanya, bukan untuk membenci, tapi untuk mengenal lebih dalam—dan dari situ, membangun ulang kebanggaan yang punya akar.