Kapitalisme: Agama Baru Tanpa Surga

Kapitalisme bukan hanya sistem ekonomi—ia telah menjelma menjadi cara berpikir, bertindak, bahkan percaya. Layaknya agama, kapitalisme menawarkan janji keselamatan dalam bentuk kekayaan dan kebebasan individu. Tapi tak seperti agama-agama besar yang menjanjikan surga sebagai akhir dari kesetiaan, kapitalisme hanya menjanjikan kompetisi abadi—tanpa jaminan kedamaian.

Kapitalisme dan Iman kepada Pertumbuhan

Dalam kapitalisme, pertumbuhan ekonomi adalah dogma utama. Lebih banyak, lebih cepat, lebih besar—itulah mantra yang didengungkan tiap hari. Dari ruang kelas ekonomi hingga rapat perusahaan, semua diarahkan pada satu tujuan: peningkatan nilai. Tapi kita jarang bertanya, “Nilai bagi siapa?”

Tidak peduli apakah pertumbuhan itu menggerus lingkungan, memperlebar jurang ketimpangan, atau menciptakan pekerja lelah yang tak punya waktu hidup. Yang penting grafik naik.

Konsumerisme Sebagai Ibadah

Belanja menjadi ibadah harian. Kita dituntun bukan oleh nabi, tapi oleh iklan. Mall menjadi katedral modern. Influencer jadi rasulnya. Produk bukan lagi sekadar alat bantu hidup—mereka menjadi identitas. Ponsel, sepatu, atau minuman bisa menentukan kelas sosial dan rasa percaya diri.

Kita merasa puas bukan karena kebutuhan terpenuhi, tapi karena merasa “lebih” dari orang lain. Kapitalisme mengajari kita bahwa “kebahagiaan” bisa dibeli, selama kita punya kartu kredit.

Surga Diganti dengan “Kesempatan”

Agama menjanjikan surga di akhirat. Kapitalisme menjanjikan kesempatan—tapi hanya bagi yang kuat, cepat, dan lahir di tempat yang tepat. Yang kalah dianggap malas, bodoh, atau tidak cukup berusaha. Tak ada belas kasih; hanya seleksi alam ekonomi.

Tidak ada surga bersama. Hanya kompetisi individu.

Ketika Ketimpangan Jadi Biasa

Kapitalisme menciptakan kasta baru. CEO dengan gaji miliaran bisa tinggal beberapa blok dari buruh lepas harian. Yang satu bisa pensiun di usia 35, yang lain kerja hingga mati. Tapi kita semua diajak percaya bahwa itu adil, karena “semua punya kesempatan yang sama.” Padahal kenyataannya, garis start setiap orang tidak pernah sejajar.

Apakah Ada Jalan Lain?

Mengkritik kapitalisme bukan berarti mengagungkan sistem lain yang juga punya cacat. Tapi kita perlu menyadari bahwa menjadikan pasar sebagai satu-satunya pengatur hidup adalah bahaya. Manusia lebih dari sekadar angka pertumbuhan. Kita butuh nilai: solidaritas, keadilan, waktu bersama keluarga, dan kebermaknaan.


Kapitalisme mungkin tidak menawarkan surga, tapi ia menuntut kesetiaan seperti agama. Pertanyaannya: apakah kita benar-benar memilihnya, atau hanya ikut karena tak ada pilihan lain?

Related Posts

Kita Hidup Dalam Dunia yang Dikurasi Algoritma

Pernah merasa bahwa semua yang muncul di layar gadget-mu terasa terlalu “kamu banget”? Entah itu video TikTok, rekomendasi YouTube, iklan sepatu, atau postingan Instagram dari orang yang belum kamu kenal…

Kota Ini Indah dari Jauh, Tapi Busuk dari Dalam

Gedung-gedung tinggi memantulkan cahaya senja, jalan-jalan rapi ditumbuhi pohon hias, mural seni menghiasi dinding kota—semuanya tampak menakjubkan dari kejauhan. Tapi semakin dekat kamu melangkah, semakin terasa bahwa keindahan kota ini…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You Missed

Kita Hidup Dalam Dunia yang Dikurasi Algoritma

Kita Hidup Dalam Dunia yang Dikurasi Algoritma

Rakyat Disuruh Sabar, Elit Gak Pernah Nunggu

Doa Terakhir untuk Negara yang Kelewat Sibuk

Kritik Dilarang, Tapi Janji Bohong Tidak?

Kritik Dilarang, Tapi Janji Bohong Tidak?

Pinggiran Tak Butuh Kasihan, Butuh Didengar

Review Buku: Saat Penulis Lebih Tajam dari Pengacara

Review Buku: Saat Penulis Lebih Tajam dari Pengacara