Di tengah deru kendaraan, notifikasi tanpa jeda, rapat beruntun, dan kebisingan opini digital, ada satu hal yang perlahan hilang dari bangsa ini: hening. Waktu untuk menunduk, bukan karena kalah, tapi karena sadar—ada yang lebih besar dari ambisi. Sebuah doa. Doa yang mungkin tak terdengar di antara deadline dan target pertumbuhan.
🕯️ Negara yang Terlalu Sibuk untuk Diam
Indonesia terus bergerak. Ekonomi, teknologi, politik, pendidikan—semuanya berjalan serba cepat. Tapi dalam kecepatan itu, kita lupa:
- Merenung tentang makna kemanusiaan
- Menyapa sesama tanpa agenda tersembunyi
- Bertanya, bukan hanya “apa selanjutnya?”, tapi “kenapa semua ini?”
Kita membangun banyak, tapi sering lupa mendoakan banyak.
🙏 Doa yang Tidak Viral, Tapi Vital
Doa ini bukan untuk jadi konten atau kutipan. Ini doa diam-diam, yang mungkin hanya terdengar oleh hati dan langit.
“Tuhan, di negara yang sibuk mengejar angka dan citra,
ajari kami mengenal nilai dan nurani.
Di tanah yang selalu ingin cepat,
ajari kami sabar menanam kebaikan.
Di ruang yang penuh sorak dan debat,
biarkan kami temukan suara-Mu dalam diam.”
📉 Ketika Produktivitas Menjadi Berhala
Kita mulai menyembah sibuk. Mereka yang tak sempat istirahat dianggap penting. Tapi jiwa yang lelah dan tak sempat sembuh tak bisa terus disangkal. Negara ini butuh lebih dari strategi—ia butuh jiwa yang sadar, dan hati yang pulang.
💡 Kesimpulan
Kadang doa terbaik bukan yang panjang, tapi yang lahir dari kesadaran akan keterbatasan. Kita bukan mesin. Negara ini bukan hanya soal angka, tapi soal hati manusia yang tak boleh dilupakan. Semoga di antara kesibukan yang terus bertambah, kita masih punya waktu untuk berdoa, bukan hanya bekerja.
“Bangsa yang besar bukan hanya yang bekerja keras, tapi yang tahu kapan harus menunduk dan berharap.”