Biaya Hidup Mahal, Janji Negara Murahan

Blackbuzzardpress.comBiaya hidup terus melambung. Di sisi lain, janji-janji politik soal kesejahteraan rakyat terdengar makin hampa. Ini bukan lagi sekadar keluhan warung kopi atau cerita di pasar tradisional. Ini adalah kenyataan harian yang menghantam meja makan keluarga kelas bawah hingga menengah: harga bahan pokok makin tak masuk akal, sementara gaji tetap stagnan.

Kebutuhan Pokok: Naik, Tapi Diam-Diam

Harga beras premium di beberapa daerah kini tembus Rp15.000 per kilogram. Minyak goreng, telur, cabai, bahkan air galon isi ulang pun ikut naik. Namun alih-alih mengakuinya sebagai krisis, pemerintah justru menyebut kenaikan ini sebagai “penyesuaian pasar”.

Istilah “penyesuaian” ini terdengar elok di meja konferensi pers, tapi di lapangan artinya rakyat menyesuaikan diri dengan lapar, bukan pasar.

Janji Politik yang Kosong dan Terlupakan

Selama masa kampanye, kita sering dengar janji-janji manis: “beras murah untuk rakyat”, “subsidi langsung”, “BBM stabil”, bahkan “rumah gratis untuk keluarga muda”. Tapi saat sudah duduk nyaman di kursi kekuasaan, janji-janji itu seperti menguap bersama angin APBN.

Kebijakan subsidi semakin dikurangi dengan alasan “efisiensi anggaran”, padahal rakyat tidak pernah merasa efisien dalam membayar kebutuhan dasar.

Gaji Tak Bergerak, Tapi Target Belanja Negara Naik

Mirisnya, saat rakyat berjuang memenuhi kebutuhan dasar, belanja negara untuk proyek-proyek mercusuar justru melonjak. Jalan tol baru, bandara internasional di kota kecil, hingga anggaran kendaraan dinas pejabat kelas atas tak pernah surut.

Siapa yang sebenarnya dilayani oleh APBN? Pertanyaan itu makin sering bergema, tapi jarang dijawab.

Ketimpangan yang Dianggap Wajar

Masalahnya bukan hanya di harga atau gaji. Ketimpangan kini dianggap sebagai bagian dari “sistem”. Kita diajak untuk memahami bahwa “kue ekonomi belum merata”, seolah itu fakta alam, bukan hasil dari keputusan politik yang menyingkirkan rakyat kecil dari meja makan kebijakan.

Di tengah semua ini, kita dipaksa untuk tetap “bersyukur”, “berhemat”, dan “bertahan”. Padahal yang kita butuhkan bukan nasihat spiritual, tapi kebijakan yang berpihak.

Rakyat Tidak Butuh Janji, Tapi Bukti

Ketika negara hanya hadir saat kampanye, dan menghilang saat rakyat meminta pertanggungjawaban, maka wajar jika kepercayaan publik runtuh. Janji tanpa realisasi adalah bentuk penghinaan paling lembut tapi mematikan.

Saatnya rakyat bukan hanya mengingat janji, tapi juga mencatat siapa yang mengingkarinya.


Kamu bisa temukan lebih banyak suara tajam dan jujur lainnya di BlackBuzzardPress.com — media alternatif yang tidak takut menyuarakan suara dari pinggiran dan menghadapkan kekuasaan pada kenyataan.

Related Posts

Uang Publik, Proyek Publik: Acara Seremonial

Panggung, Baliho, dan Kamera: Siapa yang Jadi Aktor? Di berbagai kota, kita melihat pola yang berulang: setiap kali proyek pemerintah selesai, entah itu jembatan, taman, gedung olahraga, atau mal pelayanan…

Doa Terakhir untuk Negara yang Kelewat Sibuk

Di tengah deru kendaraan, notifikasi tanpa jeda, rapat beruntun, dan kebisingan opini digital, ada satu hal yang perlahan hilang dari bangsa ini: hening. Waktu untuk menunduk, bukan karena kalah, tapi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You Missed

Serangan Media Sosial: Dialog atau Kekerasan?

Serangan Media Sosial: Dialog atau Kekerasan?

Sisi Gelap Ekonomi Online Travel Agen

Sisi Gelap Ekonomi Online Travel Agen

Uang Publik, Proyek Publik: Acara Seremonial

Uang Publik, Proyek Publik: Acara Seremonial

Tanpa Akses Internet, Generasi Mati Suri?

Tanpa Akses Internet, Generasi Mati Suri?

Kenapa Film Adaptasi Best-Seller Justru Hambar?

Kenapa Film Adaptasi Best-Seller Justru Hambar?

Puisi Jalanan: Goresan Kritik Di Balik Grafiti

Puisi Jalanan: Goresan Kritik Di Balik Grafiti